Dharma Insight

Semua Tentang Dharma Universal

Manajemen Sekolah Buddhis | Jurnal Penelitian

EKSPEKTASI UMAT BUDDHA TERHADAP PENDIDIKAN BERCIRIKAN AGAMA BUDDHA DI SEKOLAH BUDDHIS


Sebagai golongan minoritas di Indonesia, agama Buddha memiliki berbagai keterbatasan termasuk di bidang pendidikan. Di Indonesia terdapat sedikit sekali sekolah bercirikan agama Buddha (Sekolah Buddhis) dan itu pun adanya di kota-kota besar. Dalam sekolah bercirikan Buddhis tersebut pun memiliki berbagai keterbatasan, antara lain minimnya jumlah siswa dan guru yang beragama Buddha. Sekolah-sekolah Buddhis harus bersaing ketat untuk mendapatkan siswa. Persaingan tidak hanya terjadi sesama sekolah Buddhis tetapi juga dengan sekolah-sekolah lain baik yang bercirikan agama lain maupun sekolah umum. Demikian juga dalam hal prestasi, sekolah Buddhis belum terlihat memiliki keunggulan

 

Di sisi lain komponen tenaga pendidik pun memiliki keterbatasan. Sebagian besar sekolah Buddhis memiliki guru yang beragama Buddha dalam jumlah yang sedikit atau dapat dikatakan hanya bagian kecil di antara semua guru di sekolah. Hal ini tentu mengurangi nilai kekhasan sekolah tersebut sebagai sekolah bercirikan agama Buddha. Guru adalah komponen yang sangat penting dalam lembaga pendidikan. Sesuai amanat kurikulum, dalam proses pendidikan dikembangkan kompetensi siswa dalam tiga ranah meliputi kognitif, afektif, dan psikomotor. Ini berarti bahwa nilai-nilai agama Buddha tidak semata dikembangkan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Buddha saja, melainkan dalam seluruh mata pelajaran. Ranah afektif diimplementasikan terutama dalam pendidikan nilai karakter yang dikembangkan tentu harus bercirikan agama Buddha. Secara ideal untuk melaksanakan tugas tersebut dibutuhkan seorang guru yang memiliki beberapa kualitas khusus. Guru yang dibutuhkan tidak hanya memahami mengenai nilai-nilai ajaran agama Buddha, tetapi juga mempunyai misi dan dedikasi yang kuat untuk membangun seutuhnya siswa Buddhis dan memajukan agama Buddha.

 

Di antara banyak pilihan pendidikan yang tersedia, terdapat sebagian umat Buddha yang memilih sekolah Buddhis, karena mempertimbangkan aspek agama dalam memberikan pendidikan bagi putra- putrinya. Orang tua siswa tentu mempunyai alasan dan harapan khusus dari sekolah Buddhis. Hal ini merupakan tantangan bagi sekolah-sekolah Buddhis untuk dapat menangkap peluang ini. Implikasinya adalah sekolah Buddhis harus mempunyai daya saing kuat dan daya tarik yang unik untuk dapat memenuhi harapan umat Buddha dalam bidang pendidikan.

 

Terdapat umat Buddha yang belum memberikan kepercayaan kepada sekolah bercirikan agama Buddha. Orang tua sangat memperhatikan aspek kualitas akademik dimana menurut asumsinya hal ini tidak didapatkan dari sekolah Buddhis. Hal ini terlihat dari adanya umat Buddha yang lebih memilih menyekolahkan putra-putrinya di sekolah lain, baik sekolah umum, sekolah negeri, bahkan sekolah bercirikan agama lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat banyak sekolah-sekolah yang sudah dikenal bereputasi baik dan berprestasi.

 

Bagi umat Buddha yang sangat memperhatikan aspek pendidikan agama akan mendapatkan kesulitan ketika putra-putriya  menempuh pendidikan di sekolah bercirikan agama lain. Beberapa sekolah bercirikan agama termasuk agama Buddha menerapkan kebijakan pendidikan agama hanya satu agama saja yaitu ciri keagamaan sekolah tersebut. Dengan demikian perkembangan spiritual anak akan terpengaruh oleh agama lain. Kondisi ini akan menjadi dilema bagi orang tua, menghadapi pilihan antara kualitas akademik dengan pendidikan agama bagi anaknya.

 

Dengan berbagai permasalahan tersebut di atas, sekolah bercirikan agama Buddha mempunyai tugas penting dalam dua aspek yaitu memiliki kualitas akademik yang baik dan mengembangkan kekhasan pendidikan agama yang kuat. Menjadi keharusan bagi sebuah sekolah Buddhis untuk memberikan layanan pendidikan yang berbeda dari sekolah lain atau sekolah umum. Sekolah Buddhis harus mampu memiliki kekhasan yang dapat diberikan kepada siswa khususnya dalam penanaman nilai ajaran agama Buddha. Kekhasan itu dapat terdiri dari berbagi bentuk, yang paling umum adalah pengembangan nilai karakter dan budaya Buddhis. Hal ini diwujudkan dalam kurikulum khusus biasanya ekstrakurikuler, dan berbagai bentuk kegiatan dan kerjasama yang dapat meningkatkan pemahaman, keyakinan, dan pengamalan siswa akan ajaran agama Buddha.

 

Untuk dapat mengembangkan pendidikan bercirikan Buddhis yang sesuai dengan harapan umat Buddha khususnya orang tua siswa, pihak pengelola harus memahami harapan umat Buddha. Bila tidak mampu melakukan hal tersebut maka sekolah Buddhis tidak dapat  memenuhi harapan umat Buddha. Pada akhirnya sekolah Buddhis tidak dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi kemajuan agama Buddha.

 

Ekspektasi berasal dari kata dalam Bahasa Inggris yaitu ‘expectation’ yang artinya harapan. Dalam bahasa Indonesia ekspektasi artinya pengharapan (Dendy Sugondo, 2008: 358). Ekspektasi menurut Siagian (2004;179) bahwa kuatnya kecenderungan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu tergantung pada kekuatan harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti oleh suatu hasil tertentu dan pada daya tarik dari hasil itu bagi yang bersangkutan. Teori harapan menekankan pada hal yang realistik dan rasional.

 

Ekspektasi umat Buddha terhadap pendidikan bercirikan agama Buddha adalah harapan umat Buddha terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah Buddhis dalam berbagai aspek. Harapan bersifat realistis dengan tujuan untuk kemajuan sekolah  Buddhis pada khususnya dan pendidikan umat Buddha secara luas. Aspek pendidikan yang dimaksud adalah komponen manajemen sekolah meliputi kurikulum pendidikan, kegiatan yang mendukung, tenaga pendidik (guru), sarana dan prasarana, dan hubungan masyarakat (kerjasama) dengan pihak luar sekolah.

 

Pendidikan bercirikan agama  Buddha identik dengan pendidikan di sekolah Buddhis. Penggunaan istilah Sekolah Buddhis belum memiliki landasan yang jelas. Secara umum sekolah Buddhis diartikan antara lain sebagai sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan pendidikan yang mempunyai visi dan misi memajukan agama Buddha, sekolah yang  mayoritas siswanya beragama Buddha, sekolah yang mengembangkan nilai-nilai ajaran agama Buddha dalam seluruh aspeknya, dan sebagainya.

 

Batasan yang dapat digunakan untuk menentukan definisi sekolah Buddhis adalah dari aspek afiliasi. Sekolah Buddhis adalah sekolah yang masuk sebagai anggota organisasi Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis Indonesia (BKPBI). Sebagaimana yang tercantum dalam official website-nya, dijelaskan bahwa BKPBI adalah wadah persatuan dan kesatuan yang mengkoordinasikan yayasan, lembaga, institusi penyelenggara pendidikan nasional dengan bercirikan khas Buddhis dan mempunyai visi, misi melestarikan agama Buddha (http://bkpb.org).

 

BKPBI adalah sebuah organisasi kerjasama bagi berbagai sekolah Buddhis di seluruh Indonesia, dengan tujuan bekerja sama dalam memajukan pendidikan Buddhis. Kenggotaan BKPBI bersifat sukarela, artinya lembaga yang bersedia dapat masuk menjadi anggota atas kemauan sendiri. Dengan demikian sekolah yang masuk sebagai anggota BKPBI  adalah sekolah Buddhis.

 

Pada dasarnya sekolah Buddhis adalah sekolah umum sama seperti sekolah lain. Kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum nasional yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk menegaskan identitas sebagai sekolah Buddhis, sekolah memberi perhatian yang besar pada upaya internalisasi nilai-nilai ajaran agama Buddha kepada peserta didik. Upaya ini ditempuh dengan berbagai cara, pada umumnya adalah melalui kurikulum muatan lokal, kegiatan ekstrakurikuler, kerjasama dengan lembaga keagamaan, dan sebagainya.

 

Seperti halnya sekolah umum, internalisasi nilai ajaran agama di sekolah Buddhis yang utama dilakukan melalui mata pelajaran Pendidikan Agama. Dalam jenjang pendidikan dasar dan menengah diselenggarakan pendidikan agama Buddha melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti. Karsan (2014: 3) menyatakan bahwa Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti merupakan rumpun mata pelajaran yang bersumber dari Kitab Suci Tripitaka (Tipitaka), yang dapat mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memperteguh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Triratna, berakhlak mulia/budi pekerti luhur (sila), menghormati dan menghargai semua manusia dengan segala persamaan dan perbedaannya.

 

Tujuan pendidikan agama sebagaimana yang disebutkan di atas itu juga sejalan dengan tujuan Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti yang meliputi tiga aspek dasar, yaitu pengetahuan (pariyatti), pelaksanaan patipatti) dan penembusan/ pencerahan (pativedha). Pemenuhan terhadap tiga aspek dasar yang merupakan suatu kesatuan dalam metode Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti ini yang akan mengantarkan peserta didik kepada moralitas yang luhur, ketenangan dan kedamaian, dan akhirnya dalam kehidupan bersama akan mewujudkan perilaku yang penuh toleran, tenggang rasa, dan cinta perdamaian (Karsan, 2014: 4).

 

Dalam mengembangkan pendidikan Buddhis, pertanyaan yang muncul adalah apa yang membedakan pendidikan Buddhis dan non Buddhis, apa yang menjadi daya tarik orang tua mengirimkan anaknya ke pendidikan Buddhis. Kalau tidak dapat  menjawab pertanyaan ini, pendidikan Buddhis menghadapi masalah  identitas.

 

Pendidikan Buddhis perlu menggali identitasnya ke dalam keluhuran budaya di dalam ajaran   Buddha. Identitas itu perlu menjanjikan kepada orang tua siswa bahwa anak mereka memasuki suatu  masyarakat yang dapat membanggakan orang tua. Kemudian ssiswa tingkat dasar sampai perguruan tinggi tetap membawa identitas ke-Buddha- an selama di sekolah dan setelah meninggalkan sekolah. Pendidikan Buddhis harus menunjukkan perbedaan dengan pendidikan non Buddhis. Dalam daya saing tidak cukup mengandalkan status akreditasi sekolah, harus didukung penampilan sekolah, manajemen sekolah yang dikemas untuk menerapkan nilai-nilai Buddhis, keilmuan dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan, penerapan berbagai metode dan model pembelajaran yang menekankan student centered learning, kedisiplinan, kemampuan mengikuti perkembangan zaman (Jeny Harianto, 2017: 41)

 

Implementasi Undang- Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu :

a) standar isi,  

b) standar proses,

c) standar kompetensi lulusan,

d) standar pendidik, dan tenaga kependidikan,

e) standar sarana dan  prasarana,         

f) standar pengelolaan,

g) standar pembiayaan, dan

h) standar penilaian pendidikan.

 

Untuk melaksanakan standar pendidikan tersebut diperlukan manajemen sekolah yang mendukung. Manajemen sekolah menurut Rohiat (2010: 21) terdiri dari enam komponen yaitu : a) manajemen kurikulum, b) manajemen kesiswaan, c) manajemen personil/ anggota, d) manajemen saranda dan prasarana, e) manajemen keuangan, f) manajemen hubungan sekolah dan masyarakat, dan g) manajemen layanan khusus.

 

Sucipto dan Raflis (dalam Rohiat, 2010: 22) menyatakan bahwa kurikulum dapat diartikan dalam arti sempit dan luas. Dalam pengertian sempit, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang diberikan sekolah, sedangkan dalam pengertian luas, kurikulum adalah semua pengalaman belajar yang diberikan sekolah kepada siswa selama mereka mengikuti pendidikan di sekolah. Dengan pengertian luas ini berarti segala usaha sekolah untuk memberikan  pengalaman belajar kepada siswa dalam upaya menghasilkan lulusan yang baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Kurikulum adalah seperangkat rencana kerja dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

 

Kurikulum dikembangkan  berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha  Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut, pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.

 

Sri Minarti (2011:109-110) menyatakan bahwa Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan disusun dengan memperhatikan beberapa hal antara lain peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia. Hal lain yang diperhatikan yaitu agama, kurikulum dikembangkan untuk meningkatkan toleransi serta kerukunan umat beragama, dan memperhatikan norma agama yang berlaku di sekolah.

 

Setiap sekolah mempunyai kewenangan untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi siswa. Sekolah Buddhis juga dapat mengembangkan kurikulum untuk mendukung penanaman nilai ajaran agama secara lebih optimal. Pengembangan kuri- kulum ini biasanya disebut muatan lokal.

 

Salah satu komponen penting penyelenggaraan pendidikan di sekolah adalah sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana berfungsi untuk mendukung proses pembelajaran yang akan berpengaruh pada kualitas pembelajaran. Mulyasa (2004: 50) mengemukakan bahwa sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi, serta alat-alat dan media pengajaran. Sedangkan yang dimaksud  dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran, seprti halaman, kebun, taman, dan sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar, seperti taman untuk pengajaran biologi, halaman sekolah sebagai sekaligus lapangan olahraga, komponen tersebut merupakan sarana pendidikan.

 

Prasarana yang digunakan langsung untuk proses pembelajaran antara lain ruang teori, ruang perpustakaan, ruang praktik keterampilan, ruang laboratorium, dan ruang ibadah. Sekolah perlu menyediakan sarana dan prasarana guna menunjang pendidikan sesuai kebutuhan yang diharapkan masyarakat.

 

Untuk melaksanakan pendidikan bercirikan agama Buddha diperlukan sarana prasarana yang sesuai dengan kegiatan keagamaan Buddha. Kegiatan ibadah harus ditanamkan kepada peserta didik, maka keberadaan tempat ibadah akan menjadi nilai lebih bagi sekolah. Ibadah dalam agama Buddha identik dengan ritual, maka adanya perlengkapan ritual juga akan melengkapi proses pembelajaran agama Buddha terutama sebagai media pembelajaran. Untuk menunjang pengetahuan agama Buddha, dukungan buku-buku mengenai agama Buddha sangat penting, baik buku paket Pendidikan Agama Buddha maupun buku penunjang lain.

 

Manajemen hubungan sekolah dan masyarakat dilakukan untuk menjembatani kebutuhan dari sekolah dan masyarkat. Sekolah melakukan komunikasi dengan masyarakat agar memahami kebutuhan pendidikan dan pembangunan masyarakat. Sekolah berperan sebagai agen perubahan dimana sekolah dapat mengadakan  perubahan nilai-nilai dan tradisi sesuai dengan kemajuan dan tuntutan masyarakat dalam kemajuan dan pembangunan.

 

Hubungan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah merupakan suatu kegiatan untuk menanamkan dan memperoleh pengertian, goodwill, kepercayaan, dan penghargaan dari publik badan hukum khususnya dan masyarakat pada umumnya. Hubungan antara sekolah dan masyarakat merupakan langkah konkret dalam menyebarluaskan informasi dan memberikan penerangan-penerangan untuk menciptakan pemahaman yang sebaik- baiknya di kalangan masyarakat luas mengenai tugas-tugas dan fungsi yang diemban organisasi kerja tersebut. Hubungan bersifat pedagogis, sosiologis, dan produktif yang dapat menghasilkan keuntungan dan perbaikan serta kemajuan bagi kedua belah pihak.

 

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diatur mengenai hak dan kewajiban orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Mulyasa (2009: 118) mengemukakan bahwa  berdasarkan pada hak dan kewajiban, secara esensial hubungan sekolah dengan masyarakat adalah bertujuan untuk a) memelihara kelangsungan hidup sekolah, b) meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, c) mem- perlancar kegiatan pembelajaran, dan d) memperoleh bantuan dan dukungan dari masyarakat dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan program-program sekolah.

 

Rohiat (2011: 95) mengemukakan bahwa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kegiatan siswa antara lain: a) melaksanakan workshop/ pelatihan secara internal  di sekolah, b) melakukan kerjasama dengan Komite Sekolah, c) melakukan kerjasama dengan masyarakat, d) melakukan kerjasama dengan LPTI/ instansi lain yang  relevan, e) melakukan kerjasama dengan dunia usaha/ industri, f) melaksanakan lomba-lomba, dan sebagainya.

 

Ngalim Purwanto (2004: 238) menyatakan bahwa hubungan kerjasama antara sekolah dan masyarakat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu a) hubungan edukatif, b) hubungan kultural, dan c) hubungan institusional.

 

Hubungan edukatif adalah hubungan kerjasama antara sekolah dan masyarakat dalam hal mendidik siswa, antara guru di sekolah dan orang tua di dalam keluarga. Hubungan ini dimaksudkan agar tidak terjadi perbedaan prinsip atau bahkan pertentangan yang dapat mengakibatkan keragu-raguan pendirian dan sikap pada diri peserta didik. Juga kerjasama dalam berusaha memenuhi fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk belajar di sekolah maupun di rumah, dan dalam memecahkan masalah-masalah yang menyangkut kesulitan belajar maupun kenakalan remaja.

 

Hubungan kultural adalah usaha kerjasama antara sekolah dan masyarakat yang memungkinkan adanya saling membina dan mengembangkan kebudayaan masyarakat tempat sekolah itu berada. Bahkan yang diharapkan adalah hendaknya sekolah itu menjadi titik pusat dan sumber tempat terpancarnya norma-norma kehidupan (agama, etika, sosial, estetika, dan sebagainya) yang baik bagi kemajuan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang maju. Untuk itu diperlukan adanya hubungan kerjasama yang fungsional antara kehidupan di sekolah dan kehidupan di masyarakat. Kegiatan- kegiatan kurikulum di sekolah disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat. Demikian pula pemilihan bahan pengajaran dan metode mengajarnya. Untuk mewujudkan kerjasama ini, sekolah dapat mengerahkan peserta didik untuk membantu kegiatan sosial di masyarakat, menyelenggarakan perayaan agama maupun nasional.

 

Hubungan institusional adalah hubungan kerjasama antara sekolah dengan lembaga atau instansi resmi, baik swasta maupun pemerintah. Hubungan seperti ini misalnya sekolah dengan Puskesmas, pemerintah setempat, perusahaan, dan sebagainya. Semua kerjasama itu dilakukan dalam rangka perbaikan dan memajukan pendidikan.

 

Ibrahim Bafadal dalam Sri Minarti (2011: 291-292) menjelaskan bahwa kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat sekitar terdiri dari komunikasi, peragaan, pelibatan, dan penggunaan fasilitas sekolah oleh masyarakat. Komunikasi adalah hubungan timbal balik antara pihak sekolah dan masyarakat yang bersifat dialogis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peragaan artinya sekolah mengadakan acara-acara yang menampilkan kreasi sekolah dalam membina peserta didik, baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstra kurikuler. Peragaan dimaksud dapat berupa pameran sekolah, acara-acara keagamaan, perlombaan, pagelaran kesenian. Pelibatan artinya sekolah melibatkan masyarakat dalam membantu menyukseskan program-program pendidikan yang diselenggarakan sekolah. Penggunaan fasilitas sekolah oleh masyarakat bertujuan agar masyarakat merasa memiliki sarana prasarana sekolah dan diberi hak memanfaatkannya. Penggunaan sarana dan prasarana sekolah tidak bebas tetapi dalam pengawasan  sekolah.

 

Untuk mendukung pembelajaran yang kontekstual dengan perkembangan di masyarakat khususnya umat Buddha, sekolah penting untuk menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga keagamaan Buddha dan lembaga lain. Lembaga yang sesuai antara lain vihara, majelis agama Buddha, organisasi Sangha, dan  sebagainya.

 

Penyelenggaraan pendidikan melibatkan komponen utama yaitu tenaga pendidik (guru) dan tenaga  kependidikan. Guru adalah pelaksana kurikulum, maka ia harus mengimplementasikan kurikulum sesuai dengan amanat Undang-undang. Dalam Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan dijelaskan bahwa kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang memberikan daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan contoh dan teladan). Berdasarkan peraturan tersebut maka dapat disimpulkan sangat dibutuhkan kedekatan emosional antara guru dengan siswa.

 

Tugas untuk menginternalisasi nilai-nilai karakter berbasis agama Buddha kepada peserta didik Buddhis, dapat dilakukan secara optimal oleh seorang guru yang beragama Buddha. Tidak cukup beragama Buddha, namun guru tersebut juga memahami ajaran agama Buddha dengan baik, dan memiliki berbagai kompetensi yang baik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

 

Penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi dari para pengelola sekolah, orang tua siswa, dan umat Buddha mengenai harapan terhadap pendidikan bercirikan agama Buddha di sekolah Buddhis. Harapan tersebut dapat ditinjau dalam komponen manajemen sekolah yaitu meliputi kurikulum, tenaga pendidik, bentuk kegiatan, sarana dan prasarana, dan kerjasama atau hubungan masyarakat. Semua komponen tersebut harus dikembangkan atau dimiliki sekolah dalam rangka meningkatkan pema haman, keyakinan, dan pengamalan siswa akan ajaran agama Buddha. Penelitian ini hendak mendeskripsikan beberapa hal berkaitan dengan sekolah Buddhis yaitu: a) pandangan para pengelola sekolah mengenai pendidikan bercirikan agama Buddha di sekolah Buddhis, b) harapan orang tua siswa terhadap pendidikan bercirikan agama Buddha di sekolah Buddhis, dan c) harapan umat Buddha terhadap pendidikan bercirikan agama Buddha di sekolah Buddhis.

 

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam beberapa aspek, yaitu teori, aspek kebijakan, dan aspek penelitian  lanjutan yang dapat diterapkan pada pengembangan pendidikan agama Buddha di Indonesia. Kontribusi praktis penelitian ini yaitu memberikan pertimbangan kebijakan pengembangan strategi pendidikan di sekolah Buddhis, dan memberikan pertim- bangan kebijakan pembelajaran di Perguruan Tinggi Keagamaan Buddha dalam rangka memberikan kompetensi bagi mahasiswa, mengingat bahwa salah satu profil lulusan jurusan kependidikan adalah menjadi guru.

 

Penelitian dilakukan di beberapa sekolah Buddhis di wilayah Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan yaitu Ehipassiko School, Sekolah Buddhi, Sekolah Ariya Metta, dan Sekolah Bodhisatta. Masing- masing sekolah tersebut memiliki siswa yang mayoritas beragama Buddha dan menyelenggarakan pendidikan agama satu saja yaitu Pendidikan Agama Buddha. Sebaliknya, guru dan pegawai beragama Buddha merupakan bagian minoritas di tiap sekolah tersebut.

 

Kurikulum yang sudah  dilaksanakan di sekolah untuk mengakomodir pembelajaran yang menginternalisasi nilai-nilai ajaran agama Buddha antara lain  ekstrakurikuler pendidikan karakter. Upaya lain yaitu dengan memberikan alokasi waktu yang lebih panjang pada mata pelajaran tertentu yang berkaitan dengan pembentukan karakter misalnya Bimbingan dan Konseling, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama Buddha, dan sebagainya. Kemudian kurikulum bercirikan Buddhis juga dilaksanakan dengan cara memasukan nilai Buddhis dalam tiap pelajaran.

 

Guru yang dimiliki sekolah di sekolah Buddhis belum dapat dikatakan ideal. Guru beragama Buddha jumlahnya sedikit, sehingga akan memberikan dampak dalam berbagai hal. Pada sisi positifnya, guru beragama non-Buddha dapat mengerti nilai-nilai ajaran agama Buddha yang dikembangkan di sekolah. Guru beragama non-Buddha yang memiliki sikap baik dapat menyesuaikan diri dengan budaya Buddhis, juga dapat mendukung kegiatan keagamaan meskipun dengan keterbatasan, misalnya hanya berkontribusi dalam bentuk tenaga untuk ikut mengatur dan mengawasi kegiatan siswa.

 

Visi dan misi sekolah Buddhis berimplikasi pada berbagai kegiatan yang mendukung ketercapaiannya. Kegiatan yang mendukung dan pasti dilakukan oleh semua sekolah Buddhis adalah perayaan hari raya agama Buddha. Namun yang menjadi nilai lebih dari perayaan tersebut adalah berbagai kegiatan yang dapat  menarik perhatian siswa dan umat  Buddha. Terdapat sebuah sekolah Buddhis yang mengadakan pekan perayaan menyambut hari raya Waisak dan Kathina dengan berbagai kegiatan menarik tetapi tetap religius.

 

Di beberapa sekolah Buddhis sudah dilaksanakan pembiasaan meditasi atau lebih dikenal dengan istilah mindfulness. Beberapa sekolah Buddhis juga sudah melakukan kegiatan Pabbaja Samanera yang diikuti oleh siswa sekolah bersangkutan maupun dari sekolah lain. Satu kegiatan yang masih jarang dilakukan sekolah Buddhis adalah mengundang Bhikkhu untuk melakukan Pindapatta di sekolah. Salah satu sekolah Buddhis di Tangerang melaksanakan program Pindapatta, sehingga semua warga sekolah berkesempatan berdana kepada bhikkhu Sangha. Kegiatan ini sangat baik untuk melatih kebiasaan   berdana bagi para siswa.

 

Untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan pembelajaran, beberapa sekolah melakukan kerjasama yang mendukung dengan berbagai pihak yang sesuai. Sebagian besar sekolah berpendapat bahwa hubungan dengan orang tua siswa sangat penting untuk berbagai keperluan. Kemudian vihara juga menjadi mitra yang sangat cocok dimana keduanya saling mem- butuhkan untuk pengembangan lembaga masing-masing. Sangha adalah pihak yang sangat tepat untuk bekerja sama. Sangha sangat tepat untuk menjadi media pembentukan karakter siswa. Perguruan Tinggi Keagamaan Buddha juga menjadi mitra mutualisme bagi sekolah. Beberapa Sekolah Tinggi Agama Buddha negeri maupun swasta menjadikan sekolah Buddhis dan vihara sebagai tempat untuk melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan bagi mahasiswanya. Lembaga lain yang menjadi mitra sekolah Buddhis adalah BKPBI yang berperan sebagai lembaga kerjasama sekolah-sekolah Buddhis yang mempunyai tujuan sama yaitu memajukan pendidikan agama Buddha.

 

Beberapa bentuk kerjasama dapat dijadikan sebagai media promosi bagi sekolah. Misalnya kerjasama dengan vihara, tentu akan memberi peluang bagi umat vihara untuk lebih mengenal sekolah Buddhis, sebaliknya vihara pun akan dikenal oleh warga sekolah. Keuntungan lain dari kerjasama antara lain dapat saling memanfaatkan fasilitas yang dimiliki.

 

Sarana dan prasarana sangat penting dalam mendukung pembelajaran. Untuk pembelajaran pendidikan bercirikan agama Buddha, sekolah Buddhis memiliki kebutuhan yang khusus pada sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana yang sangat penting adalah tempat beribadah yaitu vihara/ cetiya. Selain itu simbol- simbol agama Buddha juga sangat penting artinya bagi sekolah Buddhis, selain untuk menghidupkan suasana religius juga untuk selalu menjaga semangat religius bagi semua warga       sekolah.

 

Setiap sekolah Buddhis tentu mempunyai visi misi di masa depan. Secara umumnya sekolah Buddhis mempunyai tujuan pengembangan nilai-nilai agama Buddha bagi peserta didik, sehingga bisa berpikir, bersikap, berperilaku sesuai dengan ajaran- ajaran agama Buddha. Lebih jauh dari itu tentu ingin menjadi sekolah Buddhis unggulan kebanggaan umat Buddha bukan hanya berskala lokal tetapi nasional.

 

Untuk mencapai visi misi diperlukan berbagai upaya yang sesuai dan efektif. Upaya untuk mencapai kemajuan dilakukan dengan belajar dari sekolah bercirikan agama lain yang sudah maju dan dipercaya masyarakat. Yang tidak kalah penting adalah mengembangkan program- program yang menarik bagi siswa dan masyarakat.

 

Upaya untuk mencapai kemajuan pendidikan agama Buddha menemui berbagai kendala yang dapat dikatakan tidak ringan. Jumlah guru beragama Buddha di tiap sekolah Buddhis yang relatif sedikit (minoritas) menjadi kendala paling sulit dipecahkan dan cukup menghambat kemajuan sekolah Buddhis. Kesulitan yang muncul antara lain adanya guru beragama non-Buddha kurang bisa bersikap yang sesuai dengan budaya sekolah Buddhis. Hal ini karena terhambat oleh keyakinan pribadinya sesuai denganagama yang dianut. Kesulitan lain yaitu guru beragama non-Buddha kurang bisa membantu kegiatan yang memerlukan pemahaman mengenai ajaran agama Buddha. Misalnya untuk memberikan materi pembelajaran pada kegiatan-kegiatan keagamaan, maka guru tersebut tidak dapat memberikan kontribusi yang optimal, bahkan tidak dapat melakukannya.

 

Kendala lain yaitu dari sarana perpustakaan dan buku agama Buddha kurang dalam hal jumlahnya. Sebagian besar sekolah Buddhis sudah memiliki cetiya atau vihara. Namun demikian sekolah Buddhis yang mempunyai siswa yang banyak memerlukan jumlah atau ukuran vihara yang lebih besar. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan menjadi hambatan dalam melaksanakan pendidikan bercirikan agama Buddha.

 

Guru beragama Buddha yang merupakan minoritas juga menjadi kendala yang berasal dari dalam sekolah itu sendiri. Kepercayaan diri guru yang rendah dan keyakinan diri yang kurang pada kemajuan sekolah bercirikan agama Buddha menjadi penghambat internal bagi kemajuan sekolah Buddhis. Ditambah lagi dengan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah Buddhis masih rendah, maka kendala ini dirasa semakin berat.

 

Umat Buddha sangat membutuhkan sekolah Buddhis sebagai tempat pendidikan bercirikan Buddhis bagi anak-anaknya. Keberadaan sekolah Buddhis oleh sebagian besar umat Buddha sangat penting. Demikian besar harapan yang diberikan kepada sekolah Buddhis. Ini menjadi tantangan bagi sekolah Buddhis untuk melayani kebutuhan umat Buddha.

 

Di dalam masyarakat agama Buddha sendiri belum ada pemahaman yang sama mengenai pengertian sekolah Buddhis. Sebagian berpendapat sekolah Buddhis adalah sekolah. yang mencerminkan tradisi Buddhis. Pendapat lain sekolah Buddhis adalah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan yang di dalamnya lebih dominan untuk menyampaikan atau mengajarkan hal- hal yang berkaitan dengan nilai ajaran agama Buddha.

 

Pada kenyataannya tidak semua umat Buddha menyekolahkan anaknya di sekolah Buddhis, sikap seperti ini tentu dengan berbagai alasan. Demikian pula sebagian umat Buddha yang menyekolahkan anaknya di sekolah Buddhis mempunyai beberapa alasan. Yang paling utama adalah alasan agama. Alasan lain umat Buddha memilih sekolah Buddhis yaitu didasarkan pada ketidak- percayaan kepada sekolah bercirikan agama lain. Seperti diketahui bahwa terdapat sekolah bercirikan agama lain memberlakukan pendidikan agama satu agama saja sesuai dengan ciri keagamaan sekolah itu. Tidak hanya itu, semua kegiatan dan aturan juga sesuai dengan agama tersebut. Demikian juga dengan sekolah negeri. Di wilayah Tangerang sebagian besar sekolah negeri sudah sangat kental nuansanya dengan agama tertentu terutama dari segi budaya sekolah misalnya aturan berbusana. Umat Buddha yang merasa tidak nyaman dengan kondisi ini akan menjadi- kannya sebagai motivasi yang kuat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah Buddhis. Orang tua yang sangat memperhatikan aspek agama juga merasa di sekolah Buddhis anaknya akan mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya. Orang tua ingin mencipta- kan pondasi agama yang kuat bagi anaknya.

 

Harapan umat Buddha terhadap sekolah Buddhis dapat dikelompokkan dalam berbagai aspek yang merupakan komponen dari manajemen sekolah. Maka sekolah Buddhis harus menjawab tantangan umat Buddha dengan meningkatkan kualitas manajemen sekolah.

 

Kurikulum yang mengakomodir pembelajaran yang menginternalisasi nilai ajaran agama Buddha antara lain kurikulum yang bertujuan untuk meningkatkan tingkah laku dan karakter Buddhis pada siswa. Pelatihan membaca parita dan Dhammapada dijadwalkan secara jelas. Kemudian program sekolah mengenai pelatihan meditasi rutin setiap hari sebelum belajar, pelatihan atthasila untuk siswa pada jenjang yang sesuai misalnya mulai SMP sampai SMA. Program Pekan Penghayatan Dhamma sangat penting untuk memberikan pengetahuan dan pengalaman keagamaan siswa.

 

Kegiatan pendukung yang diharapkan oleh orang tua siswa dilaksanakan di sekolah Buddhis antara lain: perayaan hari raya agama Buddha, pabbaja samanera untuk siswa, kebaktian untuk siswa dan orang tua, meditasi untuk siswa dan orang tua, wisata religi untuk siswa dan orang tua, perlombaan intern maupun antar sekolah Buddhis, kunjungan ke panti asuhan/ sosial, bakti sosial untuk masyarakat tidak mampu, kebaktian siswa/ Sekolah Minggu Buddha di vihara bagi sekolah yang belum memiliki cetiya/ vihara, dan kunjungan bhikkhu di sekolah. Keterlibatan orang tua dalam kegiatan siswa di sekolah diharapkan lebih ditingkatkan.

 

Orang tua siswa meng- harapkan kerjasama dengan pihak luar sekolah yang sesuai antara lain dengan orang tua siswa, vihara, Sangha, dan Perguruan Tinggi Keagamaan Buddha. Selain itu juga penting untuk kerjasama dengan Yayasan Buddha Tzu Chi dan Palang Merah Indonesia untuk melatih jiwa sosial.

 

Sarana dan prasarana pendukung yang diharapkan ada di sekolah Buddhis yaitu: Vihara/ Dhammasala, simbol agama Buddha, buku Pendidikan Agama Buddha diperbanyak untuk digunakan oleh siswa tanpa membeli, juga buku-buku pengetahuan agama Buddha di perpustakaan.

 

Guru diharapkan oleh orang tua mempunyai kompetensi dan sikap yang baik. Kompetensi guru yang mendukung antara lain: peningkatan kualitas cara mengajar, materi pelajaran, disiplin, dan sikap bagi semua guru, guru kompeten di bidangnya dan memiliki pemahaman baik mengenai agama Buddha (untuk guru beragama Buddha, semua guru harus mampu mengkaitkan semua materi atau bidang ilmu dengan ajaran agama Buddha), dan semua guru harus membentuk siswa yang cerdas dan berprestasi akademik sekaligus membentuk karakter dan sikap yang sesuai dengan nilai ajaran agama Buddha.

 

Orang tua mengharapkan guru mempunyai sikap yang mendukung antara lain: guru beragama non-Buddha bisa menyesuaikan diri dengan ajaran agama Buddha dalam sikap di sekolah, guru beragama non- Buddha tidak mengajarkan ajaran agama non-Buddha di kelas, guru  beragama non-Buddha di hadapan siswa tidak memihak kepada agama yang dianut, minimal bersikap netral, dan peningkatan kepedulian dan keterlibatan guru beragama non- Buddha dalam kegiatan keagamaan siswa.

 

Agama yang dianut guru merupakan hal yang sangat penting dalam pandangan orang tua siswa. Sebagian besar orang tua siswa ingin sekolah Buddhis memiliki banyak guru beragama Buddha untuk berbagai mata pelajaran. Sebagian lainnya tidak mengharuskan tetapi lebih baik kalau banyak guru yang beragama Buddha. Orang tua ada yang berpandangan tidak masalah bila guru dari agama non-Buddha asalkan kompeten di bidangnya dan minimal mengerti nilai- nilai ajaran agama Buddha (untuk mata pelajaran selain Pendidikan Agama Buddha). Bahkan terdapat orang tua merasa senang jika ada guru yang merupakan seorang samanera/ silacarini.

 

Harapan pendidikan berciri- kan agama Buddha di sekolah Buddhis juga datang dari umat Buddha yang merupakan praktisi pendidikan. Kurikulum yang diharapkan terletak di tangan guru, dimana guru harus berkomitmen mendukung pendidikan bercirikan agama Buddha. Guru harus memperhatikan bahwa RPP disusun dengan mengembangkan nilai Buddhis. Dapat juga dibuat kurikulum tambahan khusus pengembangan nilai- ajaran agama Buddha bila memungkinkan.

 

Kerjasama yang diharapkan dengan dengan pihak luar sekolah yang mendukung antara lain dengan majelis agama Buddha, Sangha, tokoh agama Buddha, sekolah bercirikan agama lain yang unggul/ berprestasi/ bereputasi baik, dan para pengusaha/ perusahaan. Sarana dan prasarana yang diharapkan dimiliki oleh sekolah Buddhis untuk mendukung kegiatan pembelajaran antara lain: tempat untuk kegiatan latihan/ pengembangan nilai ajaran Buddha, tempat ibadah (vihara/ cetiya), dan ruang Dhamma.

 

Majelis dan Sangha sangat strategis untuk menjadi media promosi bagi sekolah. Kedua pihak tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan umat Buddha, sehingga mampu memberikan motivasi untuk mengembangkan sekolah Buddhis, terutama dengan cara memberikan pendidikan anak-anak di sekolah Buddhis, karena semua umat Buddha bertanggung jawab atas kemajuan pendidikan Buddhis.

 

Sekolah bercirikan agama lain sudah dikenal memiliki reputasi dan prestasi yang baik. Sekolah Buddhis dapat belajar dari sekolah-sekolah lain dalam hal manajemen. Upaya belajar tersebut dapat ditempuh dengan berbagai cara baik secara langsung maupun tidak langsung.

 

Pengusaha atau perusahaan mempunyai potensi yang besar untuk berkontribusi bagi kemajuan pendidikan Buddhis. Kontribusi itu dapat diwujudkan melalui dukungan dana baik kepada umat maupun sekolah. Perusahaan dapat memberikan beasiswa bagi umat untuk menempuh pendidikan di sekolah Buddhis, dapat juga menjadi donatur bagi pengembangan sekolah.

 

Umat Buddha sangat memperhatikan guru yang dimiliki sekolah Buddhis, mengharapkan guru memiliki kompetensi dan sikap yang baik, selain itu juga agama yang dianut guru. Kompetensi guru yang mendukung antara lain guru di sekolah Buddhis memiliki pemahaman ajaran agama Buddha dengan baik, kompeten di bidangnya. Umat Buddha berpen- dapat bahwa sangat penting sekolah Buddhis memiliki banyak guru beragama Buddha untuk berbagai mata pelajaran. Kalau tidak seperti ini sekolah akan sulit mencapai tujuan. Kalaupun guru tidak bisa terpenuhi, minimal Kepala Sekolah harus beragama Buddha.

 

Umat Buddha melihat kendala paling besar bagi kemajuan sekolah Buddhis adalah guru beragama Buddha jumlahnya sedikit, sedangkan guru yang beragama Buddha itu pun belum tentu memiliki kompetensi dan karakter seperti yang diharapkan.

 

Mengingat visi misi yang hendak dicapai, dan memperhatikan kendala yang dihadapi, perlu dilakukan berbagai upaya kuat yang mendukung tercapainya kemajuan sekolah Buddhis. Upaya yang diharapkan dilakukan pimpinan sekolah antara lain sering menyampaikan pengarahan mengenai nilai-nilai agama Buddha yang dikembangkan di sekolah ke guru beragama non-Buddha. Dengan upaya ini diharapkan para guru akan lebih mampu berperan dalam mencapai tujuan sekolah tersebut. Kemudian untuk mengatasi permasalahan langkanya SDM beragama Buddha, dapat dilakukan dengan program beasiswa bagi lulusan SMA yang mau kuliah di jurusan pendidikan guru bidang selain pendidikan agama Buddha. Program ini dapat dilakukan oleh sekolah sendiri atau bekerja sama dengan donatur. Diharapkan juga peran dari Sekolah Tinggi Agama Buddha untuk menghasilkan calon guru bidang lain selain Pendidikan Agama Buddha.

 

Baca Juga : Pendidikan di Sekolah Buddhis

 

Kesimpulan dan Saran

Pengelola sekolah Buddhis memiliki visi misi yang akan dicapai untuk kemajuan sekolah, telah melakukan berbagai upaya untuk mencapai kemajuan sekolah Buddhis dan menghadapi berbagai kendala. Orangtua siswa mempunyai harapan terhadap pendidikan bercirikan agama Buddha di sekolah Buddhis dalam berbagai aspek yaitu kurikulum, kegiatan, kerjasama, sarana dan prasarana, dan dari aspek guru yaitu kompetensi, sikap, dan agama yang dianut. Semua harapan itu demi pendidikan anaknya pada khususnya dan kemajuan pendidikan agama Buddha pada umumnya.


Berdasarkan kesimpulan di atas peneliti memberikan saran para pengelola harus mengupayakan berbagai program untuk menyelenggarakan sekolah Buddhis agar semakin bercirikan agama Buddha dan juga mempunyai prestasi tinggi dan memenuhi harapan umat Buddha. Di pihak lain orang tua siswa harus mendukung upaya sekolah untuk menyelenggarakan sekolah Buddhis agar semakin bercirikan agama Buddha dan juga mempunyai prestasi tinggi. Secara umum semua umat Buddha bertanggungjawab untuk mendukung upaya sekolah dalam menyelenggarakan sekolah Buddhis agar semakin bercirikan agama Buddha dan mempunyai prestasi tinggi.



Artikel ini diterbitkan di Jurnal Pencerahan Volume 9 No. 9 2017. STAB Syailendra Semarang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar