PENDAHULUAN
Negara
Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Badan Pusat Statistik
(BPS) Indonesia menyebutkan bahwa penduduk Indonesia pada tahun 2015 mencapai
kisaran 254,9 juta jiwa. Negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang
besar juga memiliki keberagaman suku, keberagaman ras, keberagaman budaya,
keberagaman adat istiadat, dan keberagaman agama. Enam agama yang sah saat ini,
agama tersebut adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Keberagaman yang dimiliki negara
Indonesia dapat menjadi kekuatan tetapi juga memiliki potensi konflik. Dalam
perjalanannya negara Indonesia telah mengalami berbagai konflik yang melibatkan
keberagaman suku dan agama, termasuk umat Buddha.
Ajaran
Buddha telah berkembang selama ribuan tahun, sepanjang sejarahnya agama Buddha
dikenal sebagai agama yang sedikit sekali memiliki catatan konflik atau
kekerasan yang mengatasnamakan ajaran agama, atau bahkan dapat dikatakan bahwa
dalam sejarahnya agama Buddha tidak pernah terlibat konflik hingga kekerasan
yang mengatasnamakan ajaran Buddha. Hal demikian tentulah memiliki dasar-dasar
sehingga penganut ajaran Buddha mampu mengutamakan perdamaian dalam pelaksanaan
ajaran agamanya.
Umat
Buddha di Indonesia dalam kurun waktu yang lama terhindar dari perselisihan
berlatar belakang masalah agama sehingga dapat merasakan kedamaian dan
kerukunan hidup beragama. Namun beberapa tahun terakhir ini kedamaian itu
terusik oleh adanya berbagai ketegangan baik yang dipicu oleh faktor dari dalam
negeri maupun luar negeri. Kasus Rohingya di Myanmar memberikan dampak terhadap
keharmonisan kehidupan beragama khususnya antara umat Buddha dengan umat Islam
di Indonesia. Dari dalam negeri sendiri terjadi juga beberapa kasus yang memicu
ketidakharmonisan umat Buddha dengan umat Islam. Terlepas dari siapa atau pihak
mana yang bertanggung jawab atas tindakan gangguan, kenyataan yang pasti adalah
terjadi situasi yang tidak kondusif dan kekhawatiran di kalangan umat Buddha.
Umat Buddha berada dalam kekhawatiran baik karena adanya potensi konflik maupun
tindakan intoleransi yang sudah nyata terjadi.
Beberapa
waktu lalu peristiwa buruk menimpa umat Buddha
di Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara. Dalam peristiwa konflik
tersebut membawa nama agama Islam dan agama Buddha. Kerusuhan di
Tanjung Balai Sumatera Utara terjadi pada hari Jumat tanggal 29 Juli
2016, dalam peristiwa tersebut terjadi pembakaran tempat ibadah berupa vihara
dan klenteng. Kejadian kerusuhan di Tanjung Balai dipicu oleh sikap seorang
wanita bernama Meliana warga Jl. Karya Kelurahan Tanjung Balai Kota I,
Kecamatan Tanjung Balai Selatan, Kota Sumatera Utara yang menyampaikan teguran
terhadap kumandang suara azan di Masjid Al Maksum Jalan Karya. Dipicu oleh
protes seorang warga tersebut kemudian terjadi perselisihan sehingga membuat
beberapa masyarakat berkumpul dan akhirnya terjadi tindakan anarkis berupa
pembakaran dan perusakan beberapa vihara dan klenteng (Yan Muhardiansyah,
https://www.merdeka.com).
Tindakan
intoleransi antarumat beragama di Tanjung Balai berlanjut pada kasus
berikutnya. Pada hari Kamis tanggal 27 Oktober 2016 terjadi peristiwa penurunan
patung Buddha Amitabha di Vihara Tri Ratna. Penurunan patung itu terjadi atas
desakan warga dan organisasi masyarakat yang didukung oleh pemerintah kota,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Forum Komunikasi antar Umat Beragama (FKUB).
Penurunan patung disaksikan oleh Kapolres
dan Kepala Kantor
Kementerian Agama Kota Tanjung Balai, Ketua MUI, dan Ketua
FKUB. Protes terhadap patung Buddha setinggi enam meter yang berada di Vihara
Tri Ratna ini telah terjadi sejak patung ini dipasang pada 2009 lalu, dan
diprotes oleh ormas pada 2010 lalu karena menganggap masyarakat di seberang
sungai Asahan secara tak langsung menghadap patung ketika salat. Warga Tanjung
Balai mayoritas muslim, dengan berdirinya patung itu yang seperti menjadi ikon
kota, masyarakat muslim merasa itu tak pantas, dan meminta untuk diturunkan
(https://www.bbc.com/).
Kasus
terkini terjadi pada bulan Februari 2018 di daerah Tangerang. Peristiwa berawal
dari kesalahpahaman yang terjadi antara seorang bhikkhu dengan warga Desa
Babat, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang. Kesalahpahaman berujung pada
penolakan kehadiran bhikkhu Mulyanto Nurhalim karena dinilai telah
menyalahgunakan fungsi tempat tinggal menjadi tempat ibadah. Permasalahan
tersebut telah diselesaikan dengan damai melalui musyawarah yang difasilitasi
oleh aparat pemerintah dan keamanan setempat (Iwan Supriyatna,
http://megapolitan.kompas.com).
Terdapat
beberapa kasus/peristiwa terkait praktik intoleransi di beberapa kota di
Indonesia. Praktik-praktik intoleransi dimulai dari penyebaran informasi yang
salah dan kebencian atas suatu kepercayaan, pembatasan hak asasi manusia
terhadap kepercayaan tertentu, mendevaluasi agama/kepercayaan lain sebagai
tidak berharga atau jahat, dan pembiaran terhadap kelompok intoleran.
Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa pada saat ini Indonesia sedang dihadapkan pada
potensi situasi intoleransi antarumat beragama. Kasus-kasus intoleransi hanya
terjadi di beberapa tempat dan dilakukan oleh segelintir oknum, tetapi
dampaknya dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dalam hal ini umat
Buddha sudah berada pada kondisi mengkhawatirkan jika mengingat salah satu
kasus yaitu persekusi yang dialami oleh seorang bhikkhu di Tangerang. Situasi
intoleransi ini merupakan potensi konflik yang lebih besar di masa mendatang
bila tidak disikapi dengan baik.
Mahasiswa adalah kaum intelektual yang secara ideal
memiliki pemikiran kritis dalam memahami suatu permasalahan dan mampu
memberikan berbagai alternatif solusi yang baik atas permasalahan tersebut.
Mahasiswa diharapkan menjadi corong aspirasi masyarakat untuk menciptakan
kehidupan bermasyarakat yang baik. Dalam catatan sejarah di berbagai belahan
dunia, mahasiswa mampu menjadi agen perubahan suatu masyarakat. Di Indonesia,
tumbangnya rezim orde baru dan dimulainya era reformasi dipelopori oleh
mahasiswa. Sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi umat Buddha, hal ini
menjadi tantangan dan tanggung jawab mahasiswa Buddhis untuk berkontribusi
dalam mengatasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon mahasiswa
Buddhis terhadap situasi intoleransi antarumat beragama, meliputi (a) pandangan
mahasiswa Buddhis tentang situasi intoleransi antarumat beragama, (b) harapan
mahasiswa Buddhis kepada berbagai pihak untuk mengatasi situasi intoleransi
antarumat beragama, dan (c) upaya yang telah dan akan dilakukan oleh mahasiswa
untuk berkontribusi dalam mengatasi situasi intoleransi antarumat beragama.
Intoleransi
Antarumat Beragama
Intoleransi
berasal dari kata toleransi. Toleransi artinya sifat atau sikap toleran (Dendy
Sugono, 2008: 1478). Toleran artinya barsifat atau bersikap menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau
bertentangan dengan pandangan sendiri (Dendy Sugono, 2008: 1477). Toleransi
adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling
bekerja sama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara
etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan
konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran
agama-agama. Sikap toleran antara lain terwujud dalam hidup saling meghormati,
tidak saling mengganggu. Toleransi yang bukan sekedar berjalan sendiri-sendiri
tanpa saling mengganggu, tetapi toleransi sebagai suatu kerjasama lintas agama.
Intoleransi
merupakan kebalikan dari kata toleransi. Intoleran artinya tidak tenggang rasa,
tidak toleran. Intoleransi artinya ketiadaan tenggangrasa (Dendy Sugono, 2008:
544). Cendekiawan muslim dan dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. Muhsin Labib menjelaskan pengertian intoleran artinya dia tidak
bisa menerima sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Kalau toleran itu artinya
dia bisa menerima adanya perbedaan pada orang lain. Misalnya ada orang yang
tidak sama dengan hobinya dan dia bisa menerima, itulah toleran. Tapi jika ada
orang yang sulit menerima bila ada orang yang punya cara berbeda dengannya,
berarti tingkat toleransinya rendah (Abu Nisrina, 2015: https://satuislam.org).
Intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan
kepercayaan, oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam "Declaration on the
Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion
or Belief", diartikan sebagai setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau
pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan yang tujuannya atau
akibatnya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan
hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan
mendasar atas dasar yang setara (Scholastica Gerintya, 2018: https://tirto.id).
Ajaran
Toleransi dalam Agama Buddha
Buddha
menghargai ajaran lain. Dalam mengajarkan Dhamma, Buddha tidak memaksa siapapun
untuk mengikuti ajarannya. Dalam kitab suci Digha Nikaya, Udumbarika-Sihanada
Sutta, Buddha bersabda kepada petapa Nigrodha yang menganut cara penyiksaan
diri, sebagai berikut:
Kerukunan beragama adalah sangat penting, apalagi
dalam kehidupan di negara ini dengan
beragam agama, budaya, dan pandangan hidup. Sikap menghargai perbedaan yang ada
sebagai suasana keindahan perlu untuk dipahami, dilaksanakan dan dijadikan
landasan dalam kehidupan sehari-hari. Agama Buddha mendukung pluralisme
beragama. Esensi yang dilihat bukan terfokus pada ritual semata. Kerukunan
menurut pandangan Buddhis dalam memahami ajaran agama masing-masing dengan cara
minimalkan non sekterianisme, inklusivisme, pluralisme, dan universalisme.
Pandangan
Mahasiswa Buddhis mengenai Situasi Intoleransi Antarumat Beragama
Mahasiswa
Buddhis memahami bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah
situasi intoleransi antarumat beragama. Pandangan ini didasarkan pada adanya
kasus-kasus yang terjadi pada masa akhir-akhir ini dimana terjadi banyak kasus
terorisme yang mengatasnamakan agama, baik yang masih berupa ancaman maupun
sampai pada pengrusakan yang memakan korban jiwa dan materi. Situasi
intoleransi ini tidak terjadi di seluruh Indonesia, hanya di beberapa daerah
tertentu yang terjadi kasus intoleransi, tetapi dampaknya relatif dirasakan
oleh seluruh masyarakat.
Wujud
sikap atau tindakan intoleran dari umat beragama yang berdampak sangat buruk
antara lain teror, pengrusakan tempat ibadah, yang menimbulkan korban jiwa dan
materi. Sedangkan wujud sikap dan tindakan intoleran yang tidak begitu buruk
dampaknya yaitu berupa pengucilan umat agama minoritas, yang terjadi di daerah
di mana umat Buddha adalah golongan minoritas. Umat agama minoritas juga akan
menemui hambatan ketika hendak menyelenggarakan acara keagamaan, sehingga
terdapat oknum masyarakat yang mengganggu acara keagamaan berlangsung. Terjadi
kasus penghambatan kegiatan perayaan keagamaan Buddha di vihara oleh masyarakat
sekitar yang beragama lain. Ini adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan
perlakuan diskriminatif terhadap umat beragama.
Mengenai
penyebab adanya sikap dan tindakan intoleran, dapat dikategorikan menjadi dua
yaitu pertama faktor yang murni berlatar belakang agama, dan yang kedua adalah
faktor politik. Mahasiswa yang masih berusia relatif muda dan aktivitasnya
hanya menjadi mahasiswa, menyatakan bahwa penyebab adanya sikap dan tindakan
intoleran adalah murni faktor agama. Fanatisme yang berlebihan dan menganggap
rendah agama lain adalah faktor utama adanya sikap intoleran. Sedangkan
mahasiswa yang berusia relatif dewasa dan sudah bekerja serta mempunyai
aktivitas keagamaan seperti menjadi aktivis vihara dan pandita, menyatakan
bahwa penyebab adanya sikap dan tindakan intoleran tidak semata-mata berlatar
belakang agama tetapi lebih besar disebabkan oleh faktor politik. Di tahun-tahun
politik saat ini, para oknum memanfaatkan isu agama untuk kepentingan pribadi
atau golongannya dalam pertarungan politik, berusaha mencari pendukung dengan cara menggunakan isu agama.
Mengenai sikap intoleransi pokok permasalahannya adalah perekonomian dan
kesenjangan. Kesenjangan antara berbagai kalangan dari yang bawah, menengah,
maupun atas. Kalangan bawah mudah
terprovokasi dengan isu SARA, yaitu
suku, ras, maupun agama.
Beberapa
faktor penyebab adanya sikap atau tindakan intoleran dari umat beragama yang
berlatar belakang agama yaitu karena kurangnya pendidikan sejak dini baik
pendidikan agama yang benar, moral, etika. Pada saat ini terjadi menurunnya
pendidikan budi pekerti dan agama, terutama di dalam keluarga, dan di sekolah
sudah tidak ada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) berakibat menurunnya
rasa patriot sebagai bangsa Indonesia.
Umat
beragama yang tidak memahami dengan baik ajaran agamanya yang luhur sehingga
memahami dengan salah dan mudah dihasut oleh pihak- pihak yang tidak
bertanggung jawab. Bahkan karena kurang pemahaman mengenai agama yang dianut,
dapat menimbulkan sikap fanatik dan menganggap agama yang dianutnya adalah
paling benar dan yang lain salah, juga memunculkan sikap tidak menghargai agama
lain.
Sedangkan
faktor penyebab yang berlatar belakang politik berawal dari adanya kesenjangan
ekonomi masyarakat. Kondisi masyarakat yang labil kemudian diperalat oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan politik. Para
politikus yang berebut pengaruh sering melontarkan isu agama untuk menarik
simpati masyarakat. Kasus yang sangat
nyata adalah Pilkada DKI Jakarta untuk menentukan gubernur di mana satu
calon gubernur adalah penganut agama tertentu dan berasal dari keturunan etnis
tertentu, sedangkan calon gubernur lain adalah penganut agama lain dan berasal
dari keturunan etnis lain. Salah satu pasangan calon gubernur sangat
memanfaatkan isu agama untuk meraih simpati masyarakat. Akibat dari tindakan
ini sering kali terjadi ketegangan dan kekisruhan di masyarakat bahkan di
kalangan intern pemeluk agama tertentu.
Meskipun kasus-kasus intoleran hanya berlangsung di
beberapa tempat dan dilakukan oleh sebagian kecil orang yang bertanggung jawab,
tetapi mempunyai dampak yang dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Dampak dari adanya sikap atau tindakan intoleran dari umat beragama yaitu
ketakutan dalam menjalankan ibadah di tempat ibadah, perselisihan, kekerasan.
Pemeluk agama merasa khawatir untuk beribadah di tempat ibadah karena takut
akan terjadi teror seperti yang sudah terjadi di tempat lain. Bahkan dampak itu
dirasakan tidak hanya oleh umat agama
yang menjadi korban tindakan intoleran, tetapi dirasakan juga oleh umat
yang seagama dengan pelaku intoleran. Sikap dan tindakan intoleran telah
mencemarkan nama baik agama. Seperti pada peristiwa pengeboman tempat ibadah,
maka agama tertentu dianggap sebagai agama teroris. Para penganut agama yang
toleran dan berpikir bijaksana menyesali dan mengutuk tindakan intoleran dari
sesama penganut agama, karena menganggap tindakan itu adalah memalukan agama
sendiri. Di Lampung terjadi aksi demo dari sekelompok wanita bercadar karena
mereka merasa dirugikan, digeneralisasi dengan anggapan bahwa wanita bercadar
adalah kaum radikal yang tidak toleran terhadap penganut agama lain. Hal ini
menunjukkan bahwa sesama pemeluk agama tertentu pun tidak setuju dengan
tindakan intoleran dan merasa dirugikan karena terkena dampak buruknya.
Sikap
Mahasiswa Buddhis terhadap Situasi Intoleransi Antarumat Beragama
Terhadap situasi intoleransi yang diakibatkan oleh
sikap dan tindakan intoleran dari umat satu agama terhadap umat agama lain,
mahasiswa Buddhis mempunyai sikap. Sebagian besar mahasiswa dengan tegas
menolak sikap dan tindakan intoleran. Mahasiswa menganggap bahwa tindakan
intoleran antaraumat beragama harus dihentikan dan tidak bisa dibiarkan
berkembang di Indonesia karena dapat merusak persatuan bangsa dan mengancam
keutuhan NKRI. Tindakan intoleran sangat merugikan semua masyarakat terutama
golongan minoritas. Sementara itu sebagian kecil mahasiswa mengatakan
fifty-fifty, artinya tidak secara tegas menolak tetapi juga tidak menerima,
sebenarnya menolak tetapi bila tidak ada dukungan dari masyarakat akhirnya
menjadi pasrah. Bila hanya sebagian kecil masyarakat yang menolak, sedangkan
sebagian yang lain tidak berusaha keras atau tidak peduli, maka perlawanan akan
menjadi sia-sia. Sebagian kecil lagi mahasiswa memilih mengalah untuk mencari
aman. Sikap terakhir ini tidak berarti menerima sikap dan tindakan intoleran,
tetapi pilihan itu karena menyadari ketidakberdayaan untuk menolak yang
disebabkan oleh kondisi umat Buddha sebagai golongan minoritas. Bila umat
Buddha ikut bersikap keras maka pihak pelaku tindakan intoleran akan bersikap
lebih keras lagi, dan kondisi ini justru akan semakin membahayakan golongan
minoritas. Mahasiswa menolak sikap dan tindakan intoleransi karena itu, selain
mengganggu kehidupan seluruh masyarakat juga karena hal itu bukan budaya luhur
bangsa Indonesia, dan tidak sesuai dengan ajaran Buddha yang mengembangkan
cinta kasih universal dan tidak menyetujui penggunaan cara kekerasan untuk
penyelesaian masalah apapun.
Harapan
Mahasiswa Buddhis kepada Pihak Internal Umat Buddha
Situasi
intoleransi antarumat beragama tidak bisa diatasi oleh pihak tertentu saja
tetapi menjadi tanggung jawab berbagai pihak baik antara lain umat Buddha
(awam), para dharmaduta, bhikkhu, pendidik, majelis, dan pemerintah dalam hal
ini Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama RI.
Mahasiswa
Buddhis mempunyai beberapa harapan kepada berbagai pihak untuk menghadapi
situasi intoleransi antarumat beragama antara lain mengharapkan umat Buddha
tidak menerima begitu saja ajaran yang diterima. Saat ini media sosial dapat
menyebarkan berbagai informasi baik yang benar maupun tidak benar termasuk isu
intoleransi. Sering kali ditemui berita hoax mengenai pelecehan agama, atau
pencemaran nama baik yang mengatasnamakan agama, dan sebagainya. Umat Buddha
diharapkan tidak menerima begitu saja informasi yang tidak baik, harus
dilakukan cross-check sehingga tidak menimbulkan kecemasan dan bahkan sikap
yang tidak tepat.
Sementara
harapan kepada para pendidik dan tokoh agama Buddha antara lain diharapkan
tidak menyebarkan ujaran kebencian. Para guru dan pemimpin agama adalah pihak
yang sangat berpengaruh terhadap sikap dan pemikiran umatnya. Umat sangat
rentan terhadap isu intoleran bila disampaikan oleh guru/pendidik dan pemimpin
agama. Maka diharapkan kepada para guru dan pemimpin agama agar senantiasa
menanamkan pemikiran positif dan memberikan kesejukan kepada umat walaupun
dalam situasi intolernsi. Bila
terjadi situasi intoleransi tidak
membesar-besarkan melainkan sebaliknya memberi ketenangan kepada umat.
Para bhikkhu dan pandita diharapkan selalu mengajarkan Dharma yang mengutamakan
cinta kasih sehingga menumbuhkan
pemahaman toleransi dalam
diri umat Buddha.
Sikap
intoleransi yang dilakukan oknum umat beragama, dapat diimbangi dengan tindakan
saling mengundang umat agama lain pada acara keagamaan. Diyakini bahwa sikap
intoleran hanya dilakukan oleh sebagian kecil umat beragama saja, sehingga
sebagian besar umat beragama dapat sebaliknya mengembangkan sikap toleransi
antarumat beragama dengan berbagai kegiatan bersama baik kegiatan umum maupun
kegiatan keagamaan. Dalam kegiatan perayaan keagamaan dapat mengundang umat
agama lain untuk mengikuti kegiatan tersebut sebagai wujud penghormatan.
Kegiatan seperti ini harus sering dilakukan oleh semua pemeluk agama agar
menjadi contoh bagi yang lain dan menjadi tradisi yang berkembang baik.
Karena
fanatisme yang membuta, pemeluk agama sering
melihat dengan persepsi sendiri dan tidak memeriksa dengan teliti
terhadap kegiatan agama lain. Terjadi sikap represif dan main hakim sendiri
oknum umat beragama terhadap kegiatan agama lain. Diharapkan umat beragama
tidak mudah menghakimi terhadap agama lain sebelum memeriksa dan memahami
dengan baik. Memberikan kesempatan kepada umat lain untuk berdialog dan
memberikan klarifikasi atas
kegiatan keagamaan yang
dilakukan. Kasus pencegahan
kegiatan keagamaan seorang bhikkhu di Legok Tangerang adalah bentuk
miskomunikasi antara umat Buddha dalam hal ini bhikkhu dengan masyarakat sekitar
yang beragama lain.
Untuk mencegah terjadi
kasus demikian harus dikembangkan komunikasi yang baik antar pemeluk
agama terutama dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan agar tidak menimbulkan
kesalahpahaman dan prasangka buruk pihak lain.
Umat Buddha harus menyadari bahwa setiap kegiatan keagamaan di tengah
masyarakat harus mendapat izin dari pihak berwenang dan berkomunikasi dengan
masyarakat sekitar yang berbeda agama.
Mahasiswa
mengharapkan kepada pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Buddha Kementerian Agama RI beserta jajarannya dari atas sampai
bawah agar memberikan arahan mengenai pentingnya toleransi, tidak memberikan
ajaran yang ekstrim. Para pejabat agama Buddha tidak ikut terbawa emosi atas
tindakan intoleran yang dialami umatnya dan bersikap memanas-manasi umatnya
atau memberikan pandangan yang tidak benar. Pemerintah hendaknya memberikan
pedoman mengenai cara menghadapi intoleransi.
Perlindungan
kepada umat Buddha juga sangat penting diberikan oleh pemerintah. Kasus
intoleransi di Wonosobo di mana berujung seluruh umat Buddha dalam satu desa
pindah menganut agama lain karena tekanan, memunculkan pendapat bahwa
pemerintah tidak mampu memberikan perlindungan kepada umat Buddha yang terancam
atau di bawah tekanan pihak lain. Pemerintah tidak mampu menjadi mediator dalam
menangani situasi pertentangan di daerah tersebut. Dalam kasus semacam ini
perlindungan dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan dan
eksistensi umat Buddha.
Harapan berikutnya ditujukan kepada organisasi baik
organisasi keagamaan maupun organisasi masyarakat, agar semua organisasi dapat
bersatu. Seperti diketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai organisasi
keagamaan, terutama majelis agama Buddha. Setiap majelis hendaknya dapat selalu
memotivasi kepada umat Buddha agar selalu menjaga toleransi baik antar umat
beragama maupun internal agama Buddha, menjadi teladan bagi sikap toleransi.
Aspirasi Mahasiswa Buddhis kepada Pihak
Eksternal Umat Buddha
Selain
kepada pihak internal umat Buddha, mahasiswa Buddhis juga memiliki harapan
kepada pihak eksternal yaitu pemerintah dan umat agama lain. Mahasiswa
berharap, organisasi agama harus menjaga dan mengembangkan toleransi. Seperti
sudah diketahui masyarakat luas di Indonesia terdapat beberapa organisasi yang
dapat dikatakan keras dalam sikapnya terhadap agama lain. Organisasi semacam
ini, selain murni memperjuangkan agamanya juga sering ditunggangi atau
dimanfaatkan untuk kepentingan politik, bahkan memang ikut terlibat
politik praktis. Terdapat organisasi yang mempunyai ideologi berbasis agama
tertentu yang bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia dan ingin mengganti
ideologi sah yang masih dianut negara Indonesia. Kelompok seperti ini sangat
membahayakan kerukunan umat beragama bahkan eksistensi NKRI. Pemerintah
diharapkan tegas terhadap keberadaan organisasi semacam ini. Berbagai pihak
seperti pemerintah dan agama mayoritas diharapkan tidak menjadikan dirinya
sebagai pihak yang bisa menindas kelompok minoritas.
Di
Indonesia terdapat beberapa organisasi keagamaan besar yang menjadi tempat
bernaung sebagian besar umat Islam di Indonesia antara lain Nahdatul Ulama (NU)
dan Muhammadiyah. NU dikenal dengan konsepnya tentang Islam Nusantara, Islam
yang moderat dan welcome menerima adanya perbedaan agama. Organisasi-organisasi
tersebut dan pemerintah adalah benteng bagi kerukunan beragama di Indonesia,
jangan sampai kecolongan. Ketika pihak-pihak ini sudah kecolongan yaitu ada
masuknya teroris dari luar, sikap
radikal dan intoleran pun masuk dan akan memengaruhi semua. Maka pihak-pihak
tersebut harus terus menyebarkan semangat kerukunan, merawat dan menjaga
kebhinekaan NKRI.
Sikap
intoleran yang sering menimbulkan kerusuhan massa sampai pada pengrusakan dan
menimbulkan korban jiwa dan materi, sangat membutuhkan perlindungan dari para
aparat keamanan di lapangan dan penegak hukum. Diharapkan aparat keamanan dan
penegak hukum mampu menjaga integritas dan profesionalitas, dengan bekerja
tanpa keberpihakan, tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau agamanya.
Aparat keamanan dan penegak hukum harus mempunyai komitmen dan keberanian yang
kuat untuk menjaga keamanan dan menegakkan hukum secara adil, konsisten
menerapkan aturan dan tidak pilih kasih. Ketidakkonsistenan pemerintah terjadi
dalam kasus penurunan patung Buddha di Tanjung Balai, di mana sebelumnya
pemerintah sudah memberikan ijin untuk berdirinya patung Buddha tetapi pada
akhirnya mengalah kepada kemauan masyarakat untuk menurunkannya. Sikap tidak
konsisten pemerintah ini merugikan golongan minoritas dan membuat oknum
intoleran semakin merasa kuat dan berkuasa.
Ketegangan
dan tindakan represif sering terjadi karena kurangnya pemahaman akan pihak
lain, prasangka buruk, dan kurang komunikasi. Untuk itu diperlukan dialog yang
damai dan hangat yang melibatkan berbagai pihak antar pemeluk
agama. Dialog lintas agama, seminar dan workshop lintas agama, adalah sarana
untuk menumbuhkan suasana persahabatan juga untuk membangun pemahaman yang
lebih baik mengenai pluralisme dan pentingnya toleransi. Berbagai pihak baik
pemerintah maupun organisasi masyarakat harus sering menyelenggarakan kegiatan
semacam ini.
Pemerintah diharapkan melakukan sosialisasi mengenai
toleransi secara merata dari masyarakat golongan atas sampai bawah, sehingga
tidak hanya para pemimpin agama yang memahami toleransi. Hal ini bertujuan agar
semangat toleransi tertanam kepada seluruh umat Buddha yang sudah dikobarkan
oleh para pemimpinnya.
Upaya
yang Dilakukan Mahasiswa Buddhis
Mahasiswa
Buddhis sebagai kaum intelektual sudah melakukan berbagai upaya membina
toleransi untuk menghadapi situasi intoleransi antarumat beragama. Di STAB
Dharma Widya terdapat beberapa mahasiswa yang sudah bekerja sebagai pendidik
dan juga pemimpin agama yaitu pandita. Upaya yang dilakukan antara lain bagi
mahasiswa yang berperan juga sebagai pendidik dan pandita memberikan arahan
kepada umat mengenai pentingnya toleransi. Pendidik dan pandita tidak terbawa
emosi atas situasi intoleransi dan selalu berusaha menenangkan umatnya. Para
pendidik dan pandita menyadari posisi strategisnya dalam menciptakan toleransi
umat beragama.
Para
pendidik dan tokoh agama dalam hal ini pandita dan dharmaduta memegang peran
yang sangat penting untuk membentuk pola pikir umatnya. Maka menjadi kewajiban
pihak-pihak tersebut untuk mengajarkan Dhamma yang mengandung pendidikan
tentang toleransi, kebesamaan, dan saling menghargai karena memang karakter
tersebut terkandung dalam Dharma ajaran Buddha.
Para
pemimpin agama seperti pandita selalu menekankan pentingnya pendekatan
lingkungan, keterbukaan sosial, dan komunikasi.
Kerukunan umat beragama kuncinya terletak pada lingkungan terkecil yaitu
lingkungan tempat tinggal. Bila umat Buddha bergaul dan bekerja sama
dengan baik tanpa membedakan agama, maka
secara otomatis kerukunan akan terbina dan akan terhindar dari sikap-sikap
intoleran. Para pemimpin agama Buddha meyakini bahwa sikap intoleransi hanya
dilakukan oleh segelintir oknum yang
tidak bertanggung jawab, tidak semua umat beragama lain mempunyai pandangan dan
sikap intoleran. Mahasiswa yang berperan sebagai pemimpin agama juga aktif
mengikuti sosialisasi dari pemerintah mengenai toleransi, agar menumbuhkan
semangat persahabatan dan menyamakan persepsi mengenai toleransi.
Mahasiswa
berusia muda yang belum banyak berperan di vihara juga melakukan upaya yang
sesuai dalam menghadapi situasi intoleran antarumat beragama. Dalam upaya
membina kerukunan antar mahasiswa dari berbagai agama, para mahasiswa melakukan
aksi dan dialog lintas agama, sehingga muncul kebersamaan dan dapat menjadi
contoh bagi masyarakat umum. Upaya yang tidak kalah pentingnya yaitu
solidaritas dan doa bersama. Dalam berbagai kejadian intoleran yang
mengakibatkan korban jiwa, para mahasiswa melakukan aksi solidaritas bersama
yang melibatkan mahasiswa dari berbagai kampus dan agama. Aksi solidaritas ini
akan memberi semangat bagi para korban tindak intoleransi, selain itu juga akan
menjadi contoh bagi masyarakat luas.
Untuk
membina kehidupan beragama yang harmonis, faktor paling penting adalah terletak
pada pribadi masing-masing di lingkungannya. Pergaulan dan komunikasi yang baik
dengan orang-orang terdekat akan menumbuhkan kebersamaan yang kuat. Untuk itu
bergaul dengan umat agama lain baik dengan lingkungan terdekat, di kampus, di
masyarakat, di tempat kerja adalah sangat baik untuk menumbuhkan toleransi.
Seorang mahasiswa STAB Nalanda asal Lampung di kampung halamannya sering
mengadakan perkumpulan antarumat beragama, pemuda Buddha, Kristen,, dan Islam
pada saat momen Hari Raya Idul Fitri, diisi dengan wejangan dari para pemimpin
agama.
Upaya
menumbuhkan kebersamaan berikutnya adalah dengan melakukan bakti sosial di
vihara untuk masyarakat umum termasuk umat agama lain. Baksos biasanya
dilakukan di vihara dengan membagikan sembako atau mengadakan pelayanan
kesehatan atau pengobatan. Tindakan tersebut selain untuk membantu memenuhi
kebutuhan juga yang paling penting adalah menunjukkan perhatian dan kasih
sayang yang akan menumbuhkan keharmonisan dalam masyarakat yang terdiri dari
berbagai agama.
Mahasiswa
STAB Maha Prajna bersama beberapa mahasiswa di Jakarta Utara dan Jakarta Timur
membentuk perkumpulan mahasiswa lintas agama yang melibatkan berbagai kampus
dan pemuda dengan berbagai pemeluk agama dan tempat ibadah. Dalam rangka acara
Tolerance Day 2018, mahasiswa mengunjungi berbagai tempat ibadah agama lain
untuk memperkuat persahabatan. Di Tangerang mahasiswa STABN Sriwijaya
mengadakan kegiatan bersih-bersih masjid agung di Serpong bersama Forum Pemuda
Lintas Agama (FPLA) yang menunjukkan bahwa mahasiswa benar-benar memiliki sikap
toleransi antarumat beragama. Mahasiswa Buddhis sudah bekerjasama dengan pemuda
Gusdurian, Muhammadiyah, dan Katolik untuk mengadakan dialog antar lintas
agama, kemudian dengan membantu membagi-bagikan semacam takjil saat bulan puasa
Ramadan. Pada waktu terjadi pengeboman gereja di Surabaya, mahasiswa STABN
Sriwijaya bersama mahasiswa dari beberapa kampus lain bergabung mengadakan aksi
solidaritas dan doa bersama untuk para korban.
Suatu kegiatan yang sangat penting adalah membentuk
jiwa toleransi dalam diri masing-masing. Salah satu usaha untuk mewujudkan hal
tersebut bagi mahasiswa adalah mengikuti mata kuliah pluralisme. Dengan materi
kuliah tersebut akan menimbulkan wawasan kebangsaan, kebhinekaan, pluralisme,
multikulturalisme, dan sebagainya yang pada akhirnya akan membentuk jiwa
toleransi.
Baca juga Toleransi dalam Perspektif Agama Buddha
PENUTUP
Mahasiswa
Buddhis memahami faktor penyebab adanya sikap atau tindakan intoleran dari umat
beragama yaitu karena pendidikan yang kurang baik, kurang pemahaman mengenai
agama lain, kurang pemahaman mengenai
agama yang dianutnya, fanatik dan menganggap agama yang dianutnya adalah paling
benar, kesenjangan ekonomi masyarakat, umat agama diperalat untuk kepentingan
politik. Wujud sikap atau tindakan intoleran dari umat beragama antara lain
teror, pengrusakan tempat ibadah, pengucilan umat agama minoritas, mengganggu
acara keagamaan umat agama lain. Dampak
dari adanya sikap atau tindakan intoleran dari umat beragama yaitu ketakutan
beribadah, perselisihan, kekerasan, agama tertentu dianggap sebagai agama
teroris, mencemarkan nama baik agama.
Sikap
mahasiswa Buddhis terhadap situasi intoleransi antarumat beragama terdiri dari
sikap tegas menolak, sikap fifty-fifty, dan sikap mengalah. Fifty-fifty artinya
tidak secara tegas menolak tetapi juga tidak menerima intoleransi, sebenarnya
menolak tetapi bila tidak ada dukungan dari masyarakat akhirnya menjadi pasrah.
Memilih mengalah untuk mencari aman, tidak berarti menerima sikap dan tindakan
intoleran, tetapi pilihan itu karena ketidakberdayaan untuk menolak.
Mahasiswa
Buddhis mempunyai beberapa harapan kepada pihak internal agama Buddha untuk
menghadapi situasi intoleransi antarumat beragama antara lain: mengharapkan
umat Buddha tidak menerima begitu saja ajaran yang diterima. Sementara harapan
kepada para pendidik dan tokoh agama Buddha antara lain diharapkan tidak
menyebarkan ujaran kebencian, saling mengundang umat agama lain pada acara
keagamaan, tidak mudah menghakimi agama lain, memberikan arahan mengenai
pentingnya toleransi, tidak memberikan ajaran yang ekstrim. Terhadap Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama RI mahasiswa mempunyai
harapan antara lain agar memberikan pedoman mengenai cara menghadapi
intoleransi, memberikan perlindungan kepada umat Buddha, melakukan sosialisasi
mengenai toleransi harus merata dari masyarakat golongan atas sampai bawah.
Harapan berikutnya ditujukan kepada organisasi keagamaan maupun organisasi
masyarakat, agar semua organisasi dapat bersatu.
Mahasiswa
Buddhis memiliki harapan kepada pihak eksternal yaitu pemerintah dan umat agama
lain, antara lain organisasi agama harus menjaga dan mengembangkan toleransi,
integritas, dan profesionalitas penegak hukum dengan bekerja tanpa
keberpihakan, dialog lintas agama, seminar dan workshop lintas agama, umat
mayoritas tidak menindas umat minoritas, konsistensi pemerintah dalam
menegakkan hukum, pemerintah mengadakan bimbingan umat agama, pemerintah bila
mengadakan dialog kebangsaan harus merata dari masyarakat golongan atas sampai
bawah.
Mahasiswa
Buddhis sebagai kaum intelektual sudah melakukan berbagai upaya mengembangkan
toleransi untuk menghadapi situasi intoleransi antarumat beragama. Upaya-upaya
tersebut antara lain mahasiswa yang berperan juga sebagai pendidik dan pemimpin
agama memberikan arahan kepada umat mengenai pentingnya toleransi, mengikuti
sosialisasi dari pemerintah mengenai toleransi, pendekatan lingkungan,
keterbukaan sosial, dan komunikasi, aksi dan dialog lintas agama, solidaritas
dan doa bersama untuk korban sikap intoleransi, bergaul dengan umat agama lain,
bakti sosial di vihara untuk umum (termasuk umat agama lain), mengikuti mata kuliah
pluralisme..
Artikel Jurnal Penelitian ini diterbitkan pada Jurnal Vijjacariya, Vol 6 No. 1, Tahun 2019 Jurusan Dharmacarya Sekolah Tinggi Agama Buddha NegeriSriwijaya Tangerang Banten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar