Dharma Insight

Semua Tentang Dharma Universal

Respon Mahasiswa Buddhis terhadap Situasi Intoleransi Antarumat Beragama | Jurnal Penelitian

Umat Buddha di Indonesia beberapa tahun terakhir kedamaiannya terusik oleh adanya berbagai ketegangan. Umat Buddha sudah berada pada kondisi mengkhawatirkan karena terlibat dalam situasi intoleransi antarumat beragama. Mahasiswa diharapkan mempunyai kontribusi yang lebih besar dalam mengatasi masalah intoleransi antarumat beragama ini. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan respon mahasiswa Buddhis terhadap situasi intoleransi antarumat beragama di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan wawancara terhadap mahasiswa beragama Buddha di empat Sekolah Tinggi Agama  Buddha di Tangerang dan Jakarta yaitu STAB Negeri Sriwijaya, STAB Dharma Widya, STAB Nalanda, dan STAB Maha Prajna pada bulan Juni – Juli 2018.
Penelitian ini berusaha mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut: 
 Pandangan mahasiswa Buddhis terhadap situasi intoleransi antarumat beragama
 Sikap mahasiswa Buddhis menghadapi masalah ini
 Harapan mahasiswa Buddhis untuk mengatasi masalah ini

 Upaya yang dilakukan mahasiswa Buddhis dalam mengatasi masalah ini


PENDAHULUAN

Negara Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menyebutkan bahwa penduduk Indonesia pada tahun 2015 mencapai kisaran 254,9 juta jiwa. Negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang besar juga memiliki keberagaman suku, keberagaman ras, keberagaman budaya, keberagaman adat istiadat, dan keberagaman agama. Enam agama yang sah saat ini, agama tersebut adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan  Konghucu. Keberagaman yang dimiliki negara Indonesia dapat menjadi kekuatan tetapi juga memiliki potensi konflik. Dalam perjalanannya negara Indonesia telah mengalami berbagai konflik yang melibatkan keberagaman suku dan agama, termasuk umat Buddha.

Ajaran Buddha telah berkembang selama ribuan tahun, sepanjang sejarahnya agama Buddha dikenal sebagai agama yang sedikit sekali memiliki catatan konflik atau kekerasan yang mengatasnamakan ajaran agama, atau bahkan dapat dikatakan bahwa dalam sejarahnya agama Buddha tidak pernah terlibat konflik hingga kekerasan yang mengatasnamakan ajaran Buddha. Hal demikian tentulah memiliki dasar-dasar sehingga penganut ajaran Buddha mampu mengutamakan perdamaian dalam pelaksanaan ajaran agamanya.

Umat Buddha di Indonesia dalam kurun waktu yang lama terhindar dari perselisihan berlatar belakang masalah agama sehingga dapat merasakan kedamaian dan kerukunan hidup beragama. Namun beberapa tahun terakhir ini kedamaian itu terusik oleh adanya berbagai ketegangan baik yang dipicu oleh faktor dari dalam negeri maupun luar negeri. Kasus Rohingya di Myanmar memberikan dampak terhadap keharmonisan kehidupan beragama khususnya antara umat Buddha dengan umat Islam di Indonesia. Dari dalam negeri sendiri terjadi juga beberapa kasus yang memicu ketidakharmonisan umat Buddha dengan umat Islam. Terlepas dari siapa atau pihak mana yang bertanggung jawab atas tindakan gangguan, kenyataan yang pasti adalah terjadi situasi yang tidak kondusif dan kekhawatiran di kalangan umat Buddha. Umat Buddha berada dalam kekhawatiran baik karena adanya potensi konflik maupun tindakan intoleransi yang sudah nyata terjadi.

Beberapa waktu lalu peristiwa buruk menimpa umat Buddha  di Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara. Dalam peristiwa konflik tersebut membawa nama agama Islam dan agama Buddha. Kerusuhan  di  Tanjung Balai Sumatera Utara terjadi pada hari Jumat tanggal 29 Juli 2016, dalam peristiwa tersebut terjadi pembakaran tempat ibadah berupa vihara dan klenteng. Kejadian kerusuhan di Tanjung Balai dipicu oleh sikap seorang wanita bernama Meliana warga Jl. Karya Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan, Kota Sumatera Utara yang menyampaikan teguran terhadap kumandang suara azan di Masjid Al Maksum Jalan Karya. Dipicu oleh protes seorang warga tersebut kemudian terjadi perselisihan sehingga membuat beberapa masyarakat berkumpul dan akhirnya terjadi tindakan anarkis berupa pembakaran dan perusakan beberapa vihara dan klenteng (Yan Muhardiansyah, https://www.merdeka.com).

Tindakan intoleransi antarumat beragama di Tanjung Balai berlanjut pada kasus berikutnya. Pada hari Kamis tanggal 27 Oktober 2016 terjadi peristiwa penurunan patung Buddha Amitabha di Vihara Tri Ratna. Penurunan patung itu terjadi atas desakan warga dan organisasi masyarakat yang didukung oleh pemerintah kota, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Forum Komunikasi antar Umat Beragama (FKUB). Penurunan patung disaksikan  oleh  Kapolres  dan  Kepala  Kantor  Kementerian  Agama  Kota Tanjung Balai, Ketua MUI, dan Ketua FKUB. Protes terhadap patung Buddha setinggi enam meter yang berada di Vihara Tri Ratna ini telah terjadi sejak patung ini dipasang pada 2009 lalu, dan diprotes oleh ormas pada 2010 lalu karena menganggap masyarakat di seberang sungai Asahan secara tak langsung menghadap patung ketika salat. Warga Tanjung Balai mayoritas muslim, dengan berdirinya patung itu yang seperti menjadi ikon kota, masyarakat muslim merasa itu tak pantas, dan meminta untuk diturunkan (https://www.bbc.com/).

Kasus terkini terjadi pada bulan Februari 2018 di daerah Tangerang. Peristiwa berawal dari kesalahpahaman yang terjadi antara seorang bhikkhu dengan warga Desa Babat, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang. Kesalahpahaman berujung pada penolakan kehadiran bhikkhu Mulyanto Nurhalim karena dinilai telah menyalahgunakan fungsi tempat tinggal menjadi tempat ibadah. Permasalahan tersebut telah diselesaikan dengan damai melalui musyawarah yang difasilitasi oleh aparat pemerintah dan keamanan setempat (Iwan Supriyatna, http://megapolitan.kompas.com).

Terdapat beberapa kasus/peristiwa terkait praktik intoleransi di beberapa kota di Indonesia. Praktik-praktik intoleransi dimulai dari penyebaran informasi yang salah dan kebencian atas suatu kepercayaan, pembatasan hak asasi manusia terhadap kepercayaan tertentu, mendevaluasi agama/kepercayaan lain sebagai tidak berharga atau jahat, dan pembiaran terhadap kelompok intoleran.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada saat ini Indonesia sedang dihadapkan pada potensi situasi intoleransi antarumat beragama. Kasus-kasus intoleransi hanya terjadi di beberapa tempat dan dilakukan oleh segelintir oknum, tetapi dampaknya dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dalam hal ini umat Buddha sudah berada pada kondisi mengkhawatirkan jika mengingat salah satu kasus yaitu persekusi yang dialami oleh seorang bhikkhu di Tangerang. Situasi intoleransi ini merupakan potensi konflik yang lebih besar di masa mendatang bila tidak disikapi dengan baik.

Mahasiswa adalah kaum intelektual yang secara ideal memiliki pemikiran kritis dalam memahami suatu permasalahan dan mampu memberikan berbagai alternatif solusi yang baik atas permasalahan tersebut. Mahasiswa diharapkan menjadi corong aspirasi masyarakat untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang baik. Dalam catatan sejarah di berbagai belahan dunia, mahasiswa mampu menjadi agen perubahan suatu masyarakat. Di Indonesia, tumbangnya rezim orde baru dan dimulainya era reformasi dipelopori oleh mahasiswa. Sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi umat Buddha, hal ini menjadi tantangan dan tanggung jawab mahasiswa Buddhis untuk berkontribusi dalam mengatasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon mahasiswa Buddhis terhadap situasi intoleransi antarumat beragama, meliputi (a) pandangan mahasiswa Buddhis tentang situasi intoleransi antarumat beragama, (b) harapan mahasiswa Buddhis kepada berbagai pihak untuk mengatasi situasi intoleransi antarumat beragama, dan (c) upaya yang telah dan akan dilakukan oleh mahasiswa untuk berkontribusi dalam mengatasi situasi intoleransi antarumat beragama.

Intoleransi Antarumat Beragama

Intoleransi berasal dari kata toleransi. Toleransi artinya sifat atau sikap toleran (Dendy Sugono, 2008: 1478). Toleran artinya barsifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pandangan sendiri (Dendy Sugono, 2008: 1477). Toleransi adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerja sama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama. Sikap toleran antara lain terwujud dalam hidup saling meghormati, tidak saling mengganggu. Toleransi yang bukan sekedar berjalan sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu, tetapi toleransi sebagai suatu kerjasama lintas agama.

Intoleransi merupakan kebalikan dari kata toleransi. Intoleran artinya tidak tenggang rasa, tidak toleran. Intoleransi artinya ketiadaan tenggangrasa (Dendy Sugono, 2008: 544). Cendekiawan muslim dan dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Muhsin Labib menjelaskan pengertian intoleran artinya dia tidak bisa menerima sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Kalau toleran itu artinya dia bisa menerima adanya perbedaan pada orang lain. Misalnya ada orang yang tidak sama dengan hobinya dan dia bisa menerima, itulah toleran. Tapi jika ada orang yang sulit menerima bila ada orang yang punya cara berbeda dengannya, berarti tingkat toleransinya rendah (Abu Nisrina, 2015: https://satuislam.org).

Intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan, oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam "Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief", diartikan sebagai setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan yang tujuannya atau akibatnya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak   asasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar atas dasar yang setara (Scholastica Gerintya, 2018: https://tirto.id).

Ajaran Toleransi dalam Agama Buddha

Buddha menghargai ajaran lain. Dalam mengajarkan Dhamma, Buddha tidak memaksa siapapun untuk mengikuti ajarannya. Dalam kitab suci Digha Nikaya, Udumbarika-Sihanada Sutta, Buddha bersabda kepada petapa Nigrodha yang menganut cara penyiksaan diri, sebagai berikut:

“Maybe, Nigrodha, you will think: The Samana Gotama has said this from a desire to get pupils; but you are not thus to explain my words. Let him who is your teacher be your teacher still. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has said this from a desire to make us secede from our rule; but you are not thus to explain my words. Let that which is your rule be your rule still. Nigrodha, you will think: The Samana Gotama has said this from a desire to make us secede from our mode of livelihood; but you are not thus to explain my words. Let that which is your mode of livelihood be so still. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has said this from a desire to confirm us as to such points of our doctrines as are wrong, and reckoned as wrong by those ini our community; but you are not thus to explain my words. Let those points in your doctrines which are wrong and reckoned as wrong by those in your community, remain so still for you. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has said this from a desire to detach us from such points in our doctrines as are good, reckoned as good by those ini our community; but you are not thus to explain my words. Let those points ini your doctrines which are good, reckoned to be good by those in your community, remain so still” (Davids, 2002: 51).

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Buddha tidak memaksa siapa pun untuk percaya dan melaksanakan ajarannya, dan memberikan kebebasan untuk mengabaikan nasihatnya. Buddha menekankan bahwa tujuan dari mengajarkan Dhamma adalah membimbing siapa pun yang mempraktikkannya menuju kebebasan dari penderitaan sepenuhnya. Meskipun Buddha dengan tegas menyatakan bahwa Dhamma adalah kebenaran sejati, dan Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai jalan yang benar, tetapi Ia tidak pernah memaksakan agar orang lain mempercayai dan menjalankan ajarannya. Buddha mengajarkan Dhamma kepada siapa pun tidak bertujuan agar mereka menjadi muridnya atau supaya meninggalkan gurunya atau meninggalkan cara hidupnya, tetapi semata-mata supaya terbebas dari penderitaan kelahiran, ketuaan, dan sakit. Buddha mempunyai tujuan semata-mata memberikan kebahagiaan dan kesejahteraaan melalui Dhamma yang mereka ajarkan. Mengajarkan Dhamma bukan supaya mendapatkan pengikut yang banyak. 

Kerukunan beragama adalah sangat penting, apalagi dalam  kehidupan di negara ini dengan beragam agama, budaya, dan pandangan hidup. Sikap menghargai perbedaan yang ada sebagai suasana keindahan perlu untuk dipahami, dilaksanakan dan dijadikan landasan dalam kehidupan sehari-hari. Agama Buddha mendukung pluralisme beragama. Esensi yang dilihat bukan terfokus pada ritual semata. Kerukunan menurut pandangan Buddhis dalam memahami ajaran agama masing-masing dengan cara minimalkan non sekterianisme, inklusivisme, pluralisme, dan universalisme.

Pandangan Mahasiswa Buddhis mengenai Situasi Intoleransi Antarumat Beragama

Mahasiswa Buddhis memahami bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah situasi intoleransi antarumat beragama. Pandangan ini didasarkan pada adanya kasus-kasus yang terjadi pada masa akhir-akhir ini dimana terjadi banyak kasus terorisme yang mengatasnamakan agama, baik yang masih berupa ancaman maupun sampai pada pengrusakan yang memakan korban jiwa dan materi. Situasi intoleransi ini tidak terjadi di seluruh Indonesia, hanya di beberapa daerah tertentu yang terjadi kasus intoleransi, tetapi dampaknya relatif dirasakan oleh seluruh masyarakat.

Wujud sikap atau tindakan intoleran dari umat beragama yang berdampak sangat buruk antara lain teror, pengrusakan tempat ibadah, yang menimbulkan korban jiwa dan materi. Sedangkan wujud sikap dan tindakan intoleran yang tidak begitu buruk dampaknya yaitu berupa pengucilan umat agama minoritas, yang terjadi di daerah di mana umat Buddha adalah golongan minoritas. Umat agama minoritas juga akan menemui hambatan ketika hendak menyelenggarakan acara keagamaan, sehingga terdapat oknum masyarakat yang mengganggu acara keagamaan berlangsung. Terjadi kasus penghambatan kegiatan perayaan keagamaan Buddha di vihara oleh masyarakat sekitar yang beragama lain. Ini adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlakuan diskriminatif terhadap umat beragama.

Mengenai penyebab adanya sikap dan tindakan intoleran, dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pertama faktor yang murni berlatar belakang agama, dan yang kedua adalah faktor politik. Mahasiswa yang masih berusia relatif muda dan aktivitasnya hanya menjadi mahasiswa, menyatakan bahwa penyebab adanya sikap dan tindakan intoleran adalah murni faktor agama. Fanatisme yang berlebihan dan menganggap rendah agama lain adalah faktor utama adanya sikap intoleran. Sedangkan mahasiswa yang berusia relatif dewasa dan sudah bekerja serta mempunyai aktivitas keagamaan seperti menjadi aktivis vihara dan pandita, menyatakan bahwa penyebab adanya sikap dan tindakan intoleran tidak semata-mata berlatar belakang agama tetapi lebih besar disebabkan oleh faktor politik. Di tahun-tahun politik saat ini, para oknum memanfaatkan isu agama untuk kepentingan pribadi atau golongannya dalam pertarungan politik, berusaha mencari  pendukung dengan cara menggunakan isu agama. Mengenai sikap intoleransi pokok permasalahannya adalah perekonomian dan kesenjangan. Kesenjangan antara berbagai kalangan dari yang bawah, menengah, maupun atas.  Kalangan bawah mudah terprovokasi dengan isu SARA, yaitu  suku,  ras,  maupun agama.

Beberapa faktor penyebab adanya sikap atau tindakan intoleran dari umat beragama yang berlatar belakang agama yaitu karena kurangnya pendidikan sejak dini baik pendidikan agama yang benar, moral, etika. Pada saat ini terjadi menurunnya pendidikan budi pekerti dan agama, terutama di dalam keluarga, dan di sekolah sudah tidak ada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) berakibat menurunnya rasa patriot sebagai bangsa Indonesia.

Umat beragama yang tidak memahami dengan baik ajaran agamanya yang luhur sehingga memahami dengan salah dan mudah dihasut oleh pihak- pihak yang tidak bertanggung jawab. Bahkan karena kurang pemahaman mengenai agama yang dianut, dapat menimbulkan sikap fanatik dan menganggap agama yang dianutnya adalah paling benar dan yang lain salah, juga memunculkan sikap tidak menghargai agama lain.

Sedangkan faktor penyebab yang berlatar belakang politik berawal dari adanya kesenjangan ekonomi masyarakat. Kondisi masyarakat yang labil kemudian diperalat oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan politik. Para politikus yang berebut pengaruh sering melontarkan isu agama untuk menarik simpati masyarakat. Kasus yang sangat  nyata adalah Pilkada DKI Jakarta untuk menentukan gubernur di mana satu calon gubernur adalah penganut agama tertentu dan berasal dari keturunan etnis tertentu, sedangkan calon gubernur lain adalah penganut agama lain dan berasal dari keturunan etnis lain. Salah satu pasangan calon gubernur sangat memanfaatkan isu agama untuk meraih simpati masyarakat. Akibat dari tindakan ini sering kali terjadi ketegangan dan kekisruhan di masyarakat bahkan di kalangan intern pemeluk agama tertentu.

Meskipun kasus-kasus intoleran hanya berlangsung di beberapa tempat dan dilakukan oleh sebagian kecil orang yang bertanggung jawab, tetapi mempunyai dampak yang dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dampak dari adanya sikap atau tindakan intoleran dari umat beragama yaitu ketakutan dalam menjalankan ibadah di tempat ibadah, perselisihan, kekerasan. Pemeluk agama merasa khawatir untuk beribadah di tempat ibadah karena takut akan terjadi teror seperti yang sudah terjadi di tempat lain. Bahkan dampak itu dirasakan tidak hanya oleh umat agama  yang menjadi korban tindakan intoleran, tetapi dirasakan juga oleh umat yang seagama dengan pelaku intoleran. Sikap dan tindakan intoleran telah mencemarkan nama baik agama. Seperti pada peristiwa pengeboman tempat ibadah, maka agama tertentu dianggap sebagai agama teroris. Para penganut agama yang toleran dan berpikir bijaksana menyesali dan mengutuk tindakan intoleran dari sesama penganut agama, karena menganggap tindakan itu adalah memalukan agama sendiri. Di Lampung terjadi aksi demo dari sekelompok wanita bercadar karena mereka merasa dirugikan, digeneralisasi dengan anggapan bahwa wanita bercadar adalah kaum radikal yang tidak toleran terhadap penganut agama lain. Hal ini menunjukkan bahwa sesama pemeluk agama tertentu pun tidak setuju dengan tindakan intoleran dan merasa dirugikan karena terkena dampak buruknya.

Sikap Mahasiswa Buddhis terhadap Situasi Intoleransi Antarumat Beragama

Terhadap situasi intoleransi yang diakibatkan oleh sikap dan tindakan intoleran dari umat satu agama terhadap umat agama lain, mahasiswa Buddhis mempunyai sikap. Sebagian besar mahasiswa dengan tegas menolak sikap dan tindakan intoleran. Mahasiswa menganggap bahwa tindakan intoleran antaraumat beragama harus dihentikan dan tidak bisa dibiarkan berkembang di Indonesia karena dapat merusak persatuan bangsa dan mengancam keutuhan NKRI. Tindakan intoleran sangat merugikan semua masyarakat terutama golongan minoritas. Sementara itu sebagian kecil mahasiswa mengatakan fifty-fifty, artinya tidak secara tegas menolak tetapi juga tidak menerima, sebenarnya menolak tetapi bila tidak ada dukungan dari masyarakat akhirnya menjadi pasrah. Bila hanya sebagian kecil masyarakat yang menolak, sedangkan sebagian yang lain tidak berusaha keras atau tidak peduli, maka perlawanan akan menjadi sia-sia. Sebagian kecil lagi mahasiswa memilih mengalah untuk mencari aman. Sikap terakhir ini tidak berarti menerima sikap dan tindakan intoleran, tetapi pilihan itu karena menyadari ketidakberdayaan untuk menolak yang disebabkan oleh kondisi umat Buddha sebagai golongan minoritas. Bila umat Buddha ikut bersikap keras maka pihak pelaku tindakan intoleran akan bersikap lebih keras lagi, dan kondisi ini justru akan semakin membahayakan golongan minoritas. Mahasiswa menolak sikap dan tindakan intoleransi karena itu, selain mengganggu kehidupan seluruh masyarakat juga karena hal itu bukan budaya luhur bangsa Indonesia, dan tidak sesuai dengan ajaran Buddha yang mengembangkan cinta kasih universal dan tidak menyetujui penggunaan cara kekerasan untuk penyelesaian masalah apapun.

Harapan Mahasiswa Buddhis kepada Pihak Internal Umat Buddha

Situasi intoleransi antarumat beragama tidak bisa diatasi oleh pihak tertentu saja tetapi menjadi tanggung jawab berbagai pihak baik antara lain umat Buddha (awam), para dharmaduta, bhikkhu, pendidik, majelis, dan pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama RI.

Mahasiswa Buddhis mempunyai beberapa harapan kepada berbagai pihak untuk menghadapi situasi intoleransi antarumat beragama antara lain mengharapkan umat Buddha tidak menerima begitu saja ajaran yang diterima. Saat ini media sosial dapat menyebarkan berbagai informasi baik yang benar maupun tidak benar termasuk isu intoleransi. Sering kali ditemui berita hoax mengenai pelecehan agama, atau pencemaran nama baik yang mengatasnamakan agama, dan sebagainya. Umat Buddha diharapkan tidak menerima begitu saja informasi yang tidak baik, harus dilakukan cross-check sehingga tidak menimbulkan kecemasan dan bahkan sikap yang tidak tepat.

Sementara harapan kepada para pendidik dan tokoh agama Buddha antara lain diharapkan tidak menyebarkan ujaran kebencian. Para guru dan pemimpin agama adalah pihak yang sangat berpengaruh terhadap sikap dan pemikiran umatnya. Umat sangat rentan terhadap isu intoleran bila disampaikan oleh guru/pendidik dan pemimpin agama. Maka diharapkan kepada para guru dan pemimpin agama agar senantiasa menanamkan pemikiran positif dan memberikan kesejukan kepada umat walaupun dalam situasi  intolernsi.  Bila  terjadi situasi  intoleransi  tidak  membesar-besarkan melainkan sebaliknya memberi ketenangan kepada umat. Para bhikkhu dan pandita diharapkan selalu mengajarkan Dharma yang mengutamakan cinta kasih   sehingga   menumbuhkan   pemahaman   toleransi   dalam   diri   umat Buddha.

Sikap intoleransi yang dilakukan oknum umat beragama, dapat diimbangi dengan tindakan saling mengundang umat agama lain pada acara keagamaan. Diyakini bahwa sikap intoleran hanya dilakukan oleh sebagian kecil umat beragama saja, sehingga sebagian besar umat beragama dapat sebaliknya mengembangkan sikap toleransi antarumat beragama dengan berbagai kegiatan bersama baik kegiatan umum maupun kegiatan keagamaan. Dalam kegiatan perayaan keagamaan dapat mengundang umat agama lain untuk mengikuti kegiatan tersebut sebagai wujud penghormatan. Kegiatan seperti ini harus sering dilakukan oleh semua pemeluk agama agar menjadi contoh bagi yang lain dan menjadi tradisi yang berkembang baik.

Karena fanatisme yang membuta, pemeluk agama sering  melihat dengan persepsi sendiri dan tidak memeriksa dengan teliti terhadap kegiatan agama lain. Terjadi sikap represif dan main hakim sendiri oknum umat beragama terhadap kegiatan agama lain. Diharapkan umat beragama tidak mudah menghakimi terhadap agama lain sebelum memeriksa dan memahami dengan baik. Memberikan kesempatan kepada umat lain untuk berdialog dan memberikan  klarifikasi  atas  kegiatan  keagamaan  yang  dilakukan.  Kasus pencegahan kegiatan keagamaan seorang bhikkhu di Legok Tangerang adalah bentuk miskomunikasi antara umat Buddha dalam hal ini bhikkhu dengan masyarakat  sekitar  yang  beragama  lain.  Untuk  mencegah  terjadi  kasus demikian harus dikembangkan komunikasi yang baik antar pemeluk agama terutama dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan prasangka buruk pihak lain.  Umat Buddha harus menyadari bahwa setiap kegiatan keagamaan di tengah masyarakat harus mendapat izin dari pihak berwenang dan berkomunikasi dengan masyarakat sekitar yang berbeda agama.

Mahasiswa mengharapkan kepada pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama RI beserta jajarannya dari atas sampai bawah agar memberikan arahan mengenai pentingnya toleransi, tidak memberikan ajaran yang ekstrim. Para pejabat agama Buddha tidak ikut terbawa emosi atas tindakan intoleran yang dialami umatnya dan bersikap memanas-manasi umatnya atau memberikan pandangan yang tidak benar. Pemerintah hendaknya memberikan pedoman mengenai cara menghadapi intoleransi.

Perlindungan kepada umat Buddha juga sangat penting diberikan oleh pemerintah. Kasus intoleransi di Wonosobo di mana berujung seluruh umat Buddha dalam satu desa pindah menganut agama lain karena tekanan, memunculkan pendapat bahwa pemerintah tidak mampu memberikan perlindungan kepada umat Buddha yang terancam atau di bawah tekanan pihak lain. Pemerintah tidak mampu menjadi mediator dalam menangani situasi pertentangan di daerah tersebut. Dalam kasus semacam ini perlindungan dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan dan eksistensi umat Buddha.

Harapan berikutnya ditujukan kepada organisasi baik organisasi keagamaan maupun organisasi masyarakat, agar semua organisasi dapat bersatu. Seperti diketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai organisasi keagamaan, terutama majelis agama Buddha. Setiap majelis hendaknya dapat selalu memotivasi kepada umat Buddha agar selalu menjaga toleransi baik antar umat beragama maupun internal agama Buddha, menjadi teladan bagi sikap toleransi.

 Aspirasi Mahasiswa Buddhis kepada Pihak Eksternal Umat Buddha

Selain kepada pihak internal umat Buddha, mahasiswa Buddhis juga memiliki harapan kepada pihak eksternal yaitu pemerintah dan umat agama lain. Mahasiswa berharap, organisasi agama harus menjaga dan mengembangkan toleransi. Seperti sudah diketahui masyarakat luas di Indonesia terdapat beberapa organisasi yang dapat dikatakan keras dalam sikapnya terhadap agama lain. Organisasi semacam ini, selain murni memperjuangkan agamanya juga sering ditunggangi  atau  dimanfaatkan untuk kepentingan politik, bahkan memang ikut terlibat politik praktis. Terdapat organisasi yang mempunyai ideologi berbasis agama tertentu yang bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia dan ingin mengganti ideologi sah yang masih dianut negara Indonesia. Kelompok seperti ini sangat membahayakan kerukunan umat beragama bahkan eksistensi NKRI. Pemerintah diharapkan tegas terhadap keberadaan organisasi semacam ini. Berbagai pihak seperti pemerintah dan agama mayoritas diharapkan tidak menjadikan dirinya sebagai pihak yang bisa menindas kelompok minoritas.

Di Indonesia terdapat beberapa organisasi keagamaan besar yang menjadi tempat bernaung sebagian besar umat Islam di Indonesia antara lain Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU dikenal dengan konsepnya tentang Islam Nusantara, Islam yang moderat dan welcome menerima adanya perbedaan agama. Organisasi-organisasi tersebut dan pemerintah adalah benteng bagi kerukunan beragama di Indonesia, jangan sampai kecolongan. Ketika pihak-pihak ini sudah kecolongan yaitu ada masuknya  teroris dari luar, sikap radikal dan intoleran pun masuk dan akan memengaruhi semua. Maka pihak-pihak tersebut harus terus menyebarkan semangat kerukunan, merawat dan menjaga kebhinekaan NKRI.

Sikap intoleran yang sering menimbulkan kerusuhan massa sampai pada pengrusakan dan menimbulkan korban jiwa dan materi, sangat membutuhkan perlindungan dari para aparat keamanan di lapangan dan penegak hukum. Diharapkan aparat keamanan dan penegak hukum mampu menjaga integritas dan profesionalitas, dengan bekerja tanpa keberpihakan, tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau agamanya. Aparat keamanan dan penegak hukum harus mempunyai komitmen dan keberanian yang kuat untuk menjaga keamanan dan menegakkan hukum secara adil, konsisten menerapkan aturan dan tidak pilih kasih. Ketidakkonsistenan pemerintah terjadi dalam kasus penurunan patung Buddha di Tanjung Balai, di mana sebelumnya pemerintah sudah memberikan ijin untuk berdirinya patung Buddha tetapi pada akhirnya mengalah kepada kemauan masyarakat untuk menurunkannya. Sikap tidak konsisten pemerintah ini merugikan golongan minoritas dan membuat oknum intoleran semakin merasa kuat dan berkuasa.

Ketegangan dan tindakan represif sering terjadi karena kurangnya pemahaman akan pihak lain, prasangka buruk, dan  kurang  komunikasi. Untuk itu diperlukan dialog yang damai dan hangat  yang  melibatkan berbagai pihak antar pemeluk agama. Dialog lintas agama, seminar dan workshop lintas agama, adalah sarana untuk menumbuhkan suasana persahabatan juga untuk membangun pemahaman yang lebih baik mengenai pluralisme dan pentingnya toleransi. Berbagai pihak baik pemerintah maupun organisasi masyarakat harus sering menyelenggarakan kegiatan semacam ini.

Pemerintah diharapkan melakukan sosialisasi mengenai toleransi secara merata dari masyarakat golongan atas sampai bawah, sehingga tidak hanya para pemimpin agama yang memahami toleransi. Hal ini bertujuan agar semangat toleransi tertanam kepada seluruh umat Buddha yang sudah dikobarkan oleh para pemimpinnya.

Upaya yang Dilakukan Mahasiswa Buddhis

Mahasiswa Buddhis sebagai kaum intelektual sudah melakukan berbagai upaya membina toleransi untuk menghadapi situasi intoleransi antarumat beragama. Di STAB Dharma Widya terdapat beberapa mahasiswa yang sudah bekerja sebagai pendidik dan juga pemimpin agama yaitu pandita. Upaya yang dilakukan antara lain bagi mahasiswa yang berperan juga sebagai pendidik dan pandita memberikan arahan kepada umat mengenai pentingnya toleransi. Pendidik dan pandita tidak terbawa emosi atas situasi intoleransi dan selalu berusaha menenangkan umatnya. Para pendidik dan pandita menyadari posisi strategisnya dalam menciptakan toleransi umat beragama.

Para pendidik dan tokoh agama dalam hal ini pandita dan dharmaduta memegang peran yang sangat penting untuk membentuk pola pikir umatnya. Maka menjadi kewajiban pihak-pihak tersebut untuk mengajarkan Dhamma yang mengandung pendidikan tentang toleransi, kebesamaan, dan saling menghargai karena memang karakter tersebut terkandung dalam Dharma ajaran Buddha.

Para pemimpin agama seperti pandita selalu menekankan pentingnya pendekatan lingkungan, keterbukaan sosial, dan komunikasi.  Kerukunan umat beragama kuncinya terletak pada lingkungan terkecil yaitu lingkungan tempat tinggal. Bila umat Buddha bergaul dan bekerja sama dengan  baik tanpa membedakan agama, maka secara otomatis kerukunan akan terbina dan akan terhindar dari sikap-sikap intoleran. Para pemimpin agama Buddha meyakini bahwa sikap intoleransi hanya dilakukan oleh segelintir  oknum yang tidak bertanggung jawab, tidak semua umat beragama lain mempunyai pandangan dan sikap intoleran. Mahasiswa yang berperan sebagai pemimpin agama juga aktif mengikuti sosialisasi dari pemerintah mengenai toleransi, agar menumbuhkan semangat persahabatan dan menyamakan persepsi mengenai toleransi.

Mahasiswa berusia muda yang belum banyak berperan di vihara juga melakukan upaya yang sesuai dalam menghadapi situasi intoleran antarumat beragama. Dalam upaya membina kerukunan antar mahasiswa dari berbagai agama, para mahasiswa melakukan aksi dan dialog lintas agama, sehingga muncul kebersamaan dan dapat menjadi contoh bagi masyarakat umum. Upaya yang tidak kalah pentingnya yaitu solidaritas dan doa bersama. Dalam berbagai kejadian intoleran yang mengakibatkan korban jiwa, para mahasiswa melakukan aksi solidaritas bersama yang melibatkan mahasiswa dari berbagai kampus dan agama. Aksi solidaritas ini akan memberi semangat bagi para korban tindak intoleransi, selain itu juga akan menjadi contoh bagi masyarakat luas.

Untuk membina kehidupan beragama yang harmonis, faktor paling penting adalah terletak pada pribadi masing-masing di lingkungannya. Pergaulan dan komunikasi yang baik dengan orang-orang terdekat akan menumbuhkan kebersamaan yang kuat. Untuk itu bergaul dengan umat agama lain baik dengan lingkungan terdekat, di kampus, di masyarakat, di tempat kerja adalah sangat baik untuk menumbuhkan toleransi. Seorang mahasiswa STAB Nalanda asal Lampung di kampung halamannya sering mengadakan perkumpulan antarumat beragama, pemuda Buddha, Kristen,, dan Islam pada saat momen Hari Raya Idul Fitri, diisi dengan wejangan dari para pemimpin agama.

Upaya menumbuhkan kebersamaan berikutnya adalah dengan melakukan bakti sosial di vihara untuk masyarakat umum termasuk umat agama lain. Baksos biasanya dilakukan di vihara dengan membagikan sembako atau mengadakan pelayanan kesehatan atau pengobatan. Tindakan tersebut selain untuk membantu memenuhi kebutuhan juga yang paling penting adalah menunjukkan perhatian dan kasih sayang yang akan menumbuhkan keharmonisan dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai agama.

Mahasiswa STAB Maha Prajna bersama beberapa mahasiswa di Jakarta Utara dan Jakarta Timur membentuk perkumpulan mahasiswa lintas agama yang melibatkan berbagai kampus dan pemuda dengan berbagai pemeluk agama dan tempat ibadah. Dalam rangka acara Tolerance Day 2018, mahasiswa mengunjungi berbagai tempat ibadah agama lain untuk memperkuat persahabatan. Di Tangerang mahasiswa STABN Sriwijaya mengadakan kegiatan bersih-bersih masjid agung di Serpong bersama Forum Pemuda Lintas Agama (FPLA) yang menunjukkan bahwa mahasiswa benar-benar memiliki sikap toleransi antarumat beragama. Mahasiswa Buddhis sudah bekerjasama dengan pemuda Gusdurian, Muhammadiyah, dan Katolik untuk mengadakan dialog antar lintas agama, kemudian dengan membantu membagi-bagikan semacam takjil saat bulan puasa Ramadan. Pada waktu terjadi pengeboman gereja di Surabaya, mahasiswa STABN Sriwijaya bersama mahasiswa dari beberapa kampus lain bergabung mengadakan aksi solidaritas dan doa bersama untuk para korban.

Suatu kegiatan yang sangat penting adalah membentuk jiwa toleransi dalam diri masing-masing. Salah satu usaha untuk mewujudkan hal tersebut bagi mahasiswa adalah mengikuti mata kuliah pluralisme. Dengan materi kuliah tersebut akan menimbulkan wawasan kebangsaan, kebhinekaan, pluralisme, multikulturalisme, dan sebagainya yang pada akhirnya akan membentuk jiwa toleransi.

Baca juga Toleransi dalam Perspektif Agama Buddha


PENUTUP

Mahasiswa Buddhis memahami faktor penyebab adanya sikap atau tindakan intoleran dari umat beragama yaitu karena pendidikan yang kurang baik, kurang pemahaman mengenai agama lain, kurang  pemahaman mengenai agama yang dianutnya, fanatik dan menganggap agama yang dianutnya adalah paling benar, kesenjangan ekonomi masyarakat, umat agama diperalat untuk kepentingan politik. Wujud sikap atau tindakan intoleran dari umat beragama antara lain teror, pengrusakan tempat ibadah, pengucilan umat agama minoritas, mengganggu acara keagamaan  umat agama lain. Dampak dari adanya sikap atau tindakan intoleran dari umat beragama yaitu ketakutan beribadah, perselisihan, kekerasan, agama tertentu dianggap sebagai agama teroris, mencemarkan nama baik agama.

Sikap mahasiswa Buddhis terhadap situasi intoleransi antarumat beragama terdiri dari sikap tegas menolak, sikap fifty-fifty, dan sikap mengalah. Fifty-fifty artinya tidak secara tegas menolak tetapi juga tidak menerima intoleransi, sebenarnya menolak tetapi bila tidak ada dukungan dari masyarakat akhirnya menjadi pasrah. Memilih mengalah untuk mencari aman, tidak berarti menerima sikap dan tindakan intoleran, tetapi pilihan itu karena ketidakberdayaan untuk menolak.

Mahasiswa Buddhis mempunyai beberapa harapan kepada pihak internal agama Buddha untuk menghadapi situasi intoleransi antarumat beragama antara lain: mengharapkan umat Buddha tidak menerima begitu saja ajaran yang diterima. Sementara harapan kepada para pendidik dan tokoh agama Buddha antara lain diharapkan tidak menyebarkan ujaran kebencian, saling mengundang umat agama lain pada acara keagamaan, tidak mudah menghakimi agama lain, memberikan arahan mengenai pentingnya toleransi, tidak memberikan ajaran yang ekstrim. Terhadap Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama RI mahasiswa mempunyai harapan antara lain agar memberikan pedoman mengenai cara menghadapi intoleransi, memberikan perlindungan kepada umat Buddha, melakukan sosialisasi mengenai toleransi harus merata dari masyarakat golongan atas sampai bawah. Harapan berikutnya ditujukan kepada organisasi keagamaan maupun organisasi masyarakat, agar semua organisasi dapat bersatu.

Mahasiswa Buddhis memiliki harapan kepada pihak eksternal yaitu pemerintah dan umat agama lain, antara lain organisasi agama harus menjaga dan mengembangkan toleransi, integritas, dan profesionalitas penegak hukum dengan bekerja tanpa keberpihakan, dialog lintas agama, seminar dan workshop lintas agama, umat mayoritas tidak menindas umat minoritas, konsistensi pemerintah dalam menegakkan hukum, pemerintah mengadakan bimbingan umat agama, pemerintah bila mengadakan dialog kebangsaan harus merata dari masyarakat golongan atas sampai bawah.

Mahasiswa Buddhis sebagai kaum intelektual sudah melakukan berbagai upaya mengembangkan toleransi untuk menghadapi situasi intoleransi antarumat beragama. Upaya-upaya tersebut antara lain mahasiswa yang berperan juga sebagai pendidik dan pemimpin agama memberikan arahan kepada umat mengenai pentingnya toleransi, mengikuti sosialisasi dari pemerintah mengenai toleransi, pendekatan lingkungan, keterbukaan sosial, dan komunikasi, aksi dan dialog lintas agama, solidaritas dan doa bersama untuk korban sikap intoleransi, bergaul dengan umat agama lain, bakti sosial di vihara untuk umum (termasuk umat agama lain), mengikuti mata kuliah pluralisme..

 

Artikel Jurnal Penelitian ini diterbitkan pada Jurnal Vijjacariya, Vol 6 No. 1, Tahun 2019 Jurusan Dharmacarya Sekolah Tinggi Agama Buddha NegeriSriwijaya Tangerang Banten



Tidak ada komentar:

Posting Komentar