PRINSIP MISIONARIS AGAMA BUDDHA
Setiap
umat beragama lazimnya ingin menunjukkan rasa bakti kepada agamanya. Sebagian
diantaranya ditempuh dengan cara berupaya mengajarkan ajaran agamanya bahkan
menyebarkan kepada pemeluk agama lain. Hal ini
dilakukan untuk menambah jumlah umat sehingga agamanya berkembang pesat.
Upaya ini ditempuh baik secara tersamar maupun terang- terangan, dengan cara
halus maupun kekerasan, bahkan terdapat juga umat yang menganut dan menempuh
cara radikal. Cara paling umum yang sering terlihat adalah upaya penyebaran
agama yang dikenal sebagai misionaris dilakukan oleh para misionaris agama.
Tidak jarang terjadi suasana yang kurang harmonis antarumat beragama karena
upaya-upaya semacam ini.
Ditengah
gencarnya serbuan umat beragama terhadap pihak agama lain untuk mendapatkan
pengikut, umat Buddha seolah diam dan terkesan pasif. Umat Buddha relatif
mengalah ketika umat agama lain berusaha mengambil umatnya. Sikap ini dilakukan
terutama karena umat Buddha cinta damai dan selalu berusaha mengembangkan cinta
kasih walaupun mendapatkan perlakuan yang merugikan. Pada kenyataannya terdapat
banyak kasus di mana umat Buddha berpindah agama akibat pengaruh pihak lain
tersebut. Memang di samping kerugian, terdapat juga dampak positif yaitu agama
Buddha menjadi dikenal sebagai agama yang cinta damai.
Melihat
sikap agama Buddha dalam menghadapi ancaman dari luar, akan timbul pertanyaan
dalam diri umat Buddha sendiri. Apakah Sang Buddha tidak memerintahkan para
siswanya untuk bertanggung jawab terhadap kelestarian Dharma dan
menyebarluaskan ajarannya? Apakah Buddha tidak menanamkan jiwa misionaris
kepada para siswanya? Apakah Buddha tidak membentuk umat Buddha militan yang
setia kepada agamanya?
Misionaris
berasal dari kata misi yang dalam bahasa Latin mission yang diangkat dari kata
miterre yang artinya mengirim atau mengutus (Harianto, 2012: 5) Misionaris
adalah kegiatan mengutus orang lain untuk menyebarkan ajaran agama. Kata
misionaris lebih dikenal di kalangan agama Kristen yang merupakan agama misi
yang berarti perutusan atau dakwah. Sebagai agama misi, Kristen mewajibkan
umatnya untuk melakukan penginjilan sebagai salah satu bentuk kegiatan dakwah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Dendy Sugono, 2008: 921) disebutkan bahwa
misionaris adalah orang yang melakukan penyebaran warta injil kepada orang lain
yang belum mengenal Kristus (Katolik). Kegiatan misionaris adalah kegiatan yang
dilakukan oleh umat Kristen yang bertujuan untuk mengajarkan ajaran Yesus baik
di kalangan umat sendiri maupun non-Kristen.
Dalam
agama Buddha, istilah misionaris lebih dikenal sebagai Dharmaduta (utusan
Dharma). Priastana (2005: 18) mendefinisikan Dharmaduta sebagai utusan Dharma,
yaitu seseorang yang menyebarkan Dharma dan membuat orang lain ikut meyakini
Dharma, serta bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan banyak orang. Pada
saat ini yang disebut sebagai Dharmaduta tidak terbatas pada orang dengan
status tertentu. Tugas Dharmaduta dapat dilaksanakan oleh para bhikkhu maupun umat awam seperti pandita,
penyuluh agama, guru, dosen, dan siapapun yang melakukan kegiatan pembabaran
Dharma.
Misionaris
Buddhis bertujuan untuk kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan semua makhluk.
Jayatilleke (dalam Dhammananda, 2012: 31) menyatakan bahwa agama Buddha adalah
agama misionaris dalam sejarah kemanusiaan dengan suatu pesan keselamatan yang
universal bagi semua umat manusia. Buddha adalah seorang guru yang cinta damai,
dan sangat toleran terhadap penganut kepercayaan lain. Buddha tidak pernah
menggunakan kekerasan sekecil apapun dalam membabarkan Dharma, karena Ia hanya
berdasarkan cinta kasih semata dalam mengajar kepada siapa pun. Hal ini telah
ditanamkan oleh Buddha sejak pertama kali Ia mengutus para siswanya yaitu 60
bhikkhu arahat untuk membabarkan Dharma ke semua makhluk.
Dalam kitab suci Vinaya Pitaka, Buddha memerintahkan para
bhikkhu sebagai berikut:
“Walk,
monks, on tour for the blessing of the manyfolk, for the happiness of the
manyfolk out of compassion for the world, for the welfare, the blessing, the
happiness of devas and men” (Horner, 2007: 28). (Pergilah, para bhikkhu,
dalam perjalanan untuk berkah banyak orang, untuk kebahagiaan banyak orang
karena welas asih terhadap dunia, untuk kesejahteraan, berkah, kebahagiaan para
dewa dan manusia).
Pasca
kehidupan Buddha Gotama, misionaris Buddhis tetap melanjutkan misi menyebarkan
Dharma. Salah satu tokoh misionaris yang berjasa menyebarkan Dharma ke berbagai
penjuru dunia adalah Raja Asoka dari negara Magadha pada sekitar abad 3 SM.
Asoka mengirim Dharmaduta ke segenap penjuru dunia, Majjhantika dikirim ke
Kasmir; Gandhara dan Mahadeva ke Mahisamandala; Rakkhita ke Vanavasa; Yona
Dhammarakkhita ke Aparantaka (India Barat); Maharakhita ke Yona; Majjhima ke
wilayah Himalaya; Sona dan Uttara ke
Suvannabhumi (Malaya dan
Sumatera); Mahinda dengan Itthiya, Uttiya, Sambala dan Bhaddasala ke Srilanka
(Widyadharma, online).
Di
Indonesia, pada era Hindia Belanda agama Buddha bangkit berkat jasa misionaris
Buddhis yaitu Bhikkhu Narada dari Srilanka yang dimulai pada tahun 1934.
Kegiatan misionaris yang dilakukan oleh Bhikkhu Narada yaitu memberikan khotbah
Dharma, memberikan cangkokan pohon Bodhi yang berasal dari pohon Bodhi di
Bodgaya India yang kemudian ditanam di Candi Borobudur, memberikan bantuan dan
dukungan berdirinya Java Buddhist Association (Perhimpunan Buddhis) pertama di
Indonesia, menjalin kerja sama dengan kelenteng-kelenteng serta perhimpunan
Theosofi di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah, dan melantik upasaka dan
upasika di beberapa daerah (Diputhera, 2006: 23). Pada masa kemerdekaan,
misionaris yang berjasa untuk kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia antara
lain Bhikkhu Jinarakkhita, Bhikkhu Girirakkhito, dan Bhikkhu Jinaputta (Rashid & Widya, 1989).
Prinsip
Misionaris Buddhis
Misionaris
Buddhis tidak bertugas untuk membuat seluruh umat manusia menjadi beragama
Buddha. Tugas seorang misionaris Buddhis adalah menunjukkan jalan benar untuk
mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi maupun kebahagiaan tertinggi
nibbana. Misi yang diemban bukanlah untuk meningkatkan kuantitas umat Buddha
melainkan kualitas pemahaman dan praktik Dharma bagi umatnya, dan mengabarkan
Dharma kepada siapa pun yang mau menerima sebagai sebuah jalan kebaikan.
Dalam
membabarkan Dharma, Buddha tidak bermaksud mencari pengikut ataupun mengubah
keyakinan atau cara hidup seseorang, melainkan untuk menunjukkan jalan
melenyapkan permasalahan kehidupan, hanya bertujuan membantu semua makhluk
untuk terbebas dari penderitaan. Indikator keberhasilan pembabaran Dharma
bukanlah pada bertambahnya jumah umat pengikut Buddha, jumlah umat agama lain
yang berhasil ditarik masuk ke agama Buddha, ataupun jumlah umat Buddha
yang rajin beribadah di vihara. Pembabaran Dharma dikatakan berhasil
bila dapat bermanfaat bagi umat, merasa lebih bahagia dan bijaksana setelah
memahami dan mengamalkan Dharma dalam
kehidupannya.
Buddha
menghargai ajaran lain. Dalam membabarkan Dharma, Buddha tidak bermaksud
mencari pengikut ataupun mengubah keyakinan atau cara hidup seseorang,
melainkan untuk menunjukkan jalan melenyapkan permasalahan kehidupan, hanya
bertujuan membantu semua makhluk terbebas dari penderitaan. Buddha menghargai
ajaran lain. Dalam mengajarkan Dharma, Buddha tidak memaksa siapapun untuk
mengikuti ajarannya. Dalam kitab suci Digha Nikaya, Udumbarika-Sihanada Sutta,
Buddha bersabda kepada petapa Nigrodha yang menganut cara hidup penyiksaan
diri, sebagai berikut:
Maybe,
Nigrodha, you will think: The Samana Gotama has said this from a desire to get
pupils; but you are not thus to explain my words. Let him who is your teacher
be your teacher still. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has said this from a
desire to make us secede from our rule; but you are not thus to explain my
words. Let that which is your rule be your rule still. Nigrodha, you will
think: The Samana Gotama has said this from a desire to make us secede from our
mode of livelihood; but you are not thus to explain my words. Let that which is
your mode of livelihood be so still. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has
said this from a desire to confirm us as to such points of our doctrines as are
wrong, and reckoned as wrong by those ini our community; but you are not thus
to explain my words. Let those points in your doctrines which are wrong and
reckoned as wrong by those in your community, remain so still for you. Maybe,
Nigrodha, The Samana Gotama has said this from a desire to detach us from such
points in our doctrines as are good, reckoned as good by those ini our
community; but you are not thus to explain my words. Let those points ini your
doctrines which are good, reckoned to be good by those in your community,
remain so still (Davids, 2002: 51).
Dari
sutta tersebut diketahui bahwa Sang Buddha meyakinkan Nigrodha, ia mengajarkan
Dharma tidak didorong oleh keinginan untuk mendapatkan murid, atau agar orang
lain meninggalkan aturan yang ditaati, cara penghidupan yang dijalani,
mempersalahkan doktrin yang dianut. Buddha membebaskan orang lain untuk
menerima atau mengabaikan ajaran-Nya.
Agama
Buddha tidak anti tradisi atau budaya yang sudah ada, bahkan mendukung tradisi
yang sudah dimiliki masyarakat bila memang itu baik dan membawa kepada
kebijaksanaan. Untuk melaksanakan ajaran agama Buddha tidak perlu menghilangkan
tradisi apapun yang baik. Buddha menyerahkan sepenuhnya kepada umatnya untuk
melakukan apa yang menurutnya baik.
Tanggung
Jawab untuk Menjadi Misionaris Buddhis.
Untuk
kelestarian dan kemajuan suatu agama tentu diperlukan umat yang peduli,
mempunyai panggilan jiwa, memiliki
dedikasi tinggi, dan merasa mempunyai tanggung jawab atas hal itu. Dalam
jajaran umat Buddha, bhikkhu mempunyai tanggung
jawab paling besar untuk menjaga
Dharma. Dalam Dharmadayada Sutta
(Majjhima Nikaya) Buddha bersabda “Bhikkhus, be my heirs in Dhamma, not my
heirs in material things” (Ñanamoli, 2001: 97). (Para bhikkhu, jadilah
pewarisku dalam Dhamma, bukan pewarisku dalam materi). Kemudian dalam
Mahaparinibbana Sutta (Digha Nikaya) dikisahkan saat menjelang wafat Buddha
bersabda “The Truths, and the Rules of the Order, which I have set forth and
laid down for you all, let them, after I am gone, be the Teacher for you”
(Davids, 2002: 171). (Kebenaran (Dhamma), dan Aturan (Vinaya), yang telah saya
tetapkan dan tetapkan untuk kalian semua, biarkan mereka, setelah saya pergi,
menjadi Guru bagi kalian).
Dari
dua khotbah tersebut dapat disimpulkan bahwa bhikkhu adalah pewaris Dharma yang
bertanggung jawab menjaga Dharma. Tugas
itu dilaksanakan dengan cara memahami ajaran (Dharma) melaksanakan aturan
(Vinaya). Dengan pemahaman Dharma yang dimilikinya dan dipraktikkan dalam
hidupnya, seorang bhikkhu merupakan orang yang memiliki kompetensi yang baik
untuk mengajarkan Dharma kepada umat.
Dalam
Pathamasaddha Sutta (Anguttara Nikaya VIII.71), dijelaskan bahwa seorang
bhikkhu mungkin dihiasi dengan moral yang baik serta terpelajar, tetapi jika
tidak menjadi seorang pembabar Dharma yang baik, dalam hal ini ia masih kurang.
Kebajikan mengajarkan Dharma adalah kesempurnaan kualitas bagi seorang bhikkhu.
Monks,
a monk has faith, virtue and learning, but is no Dhamma preacher... he can
preach, but his walk is not in the assembly ... his walk is in the assembly,
but he teaches Dhamma in the assembly without confidence... he teaches Dhamma
with confidence, but cannot attain at will... Then must that part be perfected”
(Davids, 2006: 210) (Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu memiliki keyakinan,
moralitas, dan terpelajar, tetapi bukan pengkhotbah Dhamma... ia dapat
berkhotbah, tetapi langkahnya bukanlah dalam perkumpulan ... jalannya adalah
dalam perkumpulan, tetapi ia mengajarkan Dhamma dalam perkumpulan tanpa
keyakinan ... dia mengajarkan Dhamma dengan keyakinan, tetapi tidak dapat
mencapainya sesuka hati... Maka bagian itu harus disempurnakan).
Dalam
Saddhammapatirupaka Sutta (Samyutta Nikaya) ditegaskan bahwa lenyap dan
bertahannya Ajaran Kebenaran (Dharma) menjadi tanggung jawab semua jajaran umat
Buddha, tidak hanya para bhikkhu saja tetapi juga para bhikkhuni, upasaka, dan
upasika, sebagai berikut.
That's
the way it is, Kassapa. When beings are deteriorating and the true Dhamma is
disappearing, there are more training rules but fewer bhikkhus are established
in final knowledge. Kassapa, the true Dhamma does not disappear as long as a
counterfeit of the true Dhamma has not arisen in the world. But when a
counterfeit of the true Dhamma has arisen in the world, then the true Dhamma
disappears...
There
are five things, Kassapa, that lead to longevity of the true Dhamma, to its
nondecay and nondisappeareance. What are the five? Here the bhikkhus, the
bhikkhunis, the male lay followers, and the female lay followers dwell with
reverence and deference towards the Teacher; they dwell with reverence and
deference towards the Dhamma; they dwell with reverence and deference towards
the Sangha; they dwell with reverence and deference towards the training, they
dwell with reverence and deference towards the concentration
(Bodhi, 2000: 681).
(Ketika
makhluk-makhluk memburuk dan Dhamma sejati menghilang, ada lebih banyak aturan
pelatihan tetapi lebih sedikit bhikkhu yang mantap dalam pengetahuan akhir.
Dhamma sejati tidak akan lenyap selama Dhamma sejati yang palsu belum muncul di
dunia. Tetapi ketika Dhamma palsu telah muncul di dunia, maka Dhamma sejati
lenyap. Ada lima hal, yang menuntun pada umur panjang dari Dhamma sejati,
menuju keabadian dan ketidaklenyapannya. Apa itu lima? Di sini para bhikkhu,
bhikkhuni, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan berdiam dengan hormat
dan hormat kepada Sang Guru; mereka berdiam dengan hormat dan hormat terhadap
Dhamma; mereka berdiam dengan rasa hormat dan hormat terhadap Sangha; mereka
berdiam dengan hormat dan hormat terhadap latihan, mereka berdiam dengan hormat
dan hormat terhadap konsentrasi).
Umat
awam juga bertanggung jawab atas kelestarian Dharma dengan cara mempelajari dan melaksanakannya dalam
kehidupan sehari-hari. Jika mampu umat awam juga dapat mengajarkan Dharma ke
orang lain yang belum mengerti. Eksistensi dan kemurnian Dharma ajaran
kebenaran harus dijaga dengan cara tidak semata dilaksanakan sebagai pedoman
hidup juga harus diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap umat Buddha
mempunyai kewajiban untuk mengajarkan Dharma kepada siapa pun yang mau
menerima. Dharma diajarkan tidak harus dengan label agama Buddha, melainkan
sebagai kebenaran yang universal. Dengan cara demikian maka Dharma akan lebih
mudah diterima oleh siapa pun.
Seorang
perumahtangga atau umat awam juga mempunyai kewajiban mengajarkan Dharma kepada
orang lain. Hal ini terlihat dari pengukuhan oleh Buddha kepada seorang siswa
bernama Citta sebagai umat yang terunggul dalam pembabaran Dharma
(Dhammakathika), seperti tercantum
dalam Anguttara Nikaya I.XIV.6 :
“Monks, chief among my disciples, lay-followers, of Dhamma-teachers, is
Citta, the housefather of Macchikasanda” (David, 2006: 22- 23). (Para
bhikkhu, pemimpin di antara para siswaku, umat awam, guru-Dhamma, adalah Citta,
ayah dari Macchikasanda). Dari tindakan Buddha ini dapat disimpulkan bahwa umat
awam juga mempunyai kualitas sebagai pembabar Dharma, dengan demikian mempunyai
kewajiban untuk membabarkan Dharma.
Kompetensi
Misionaris Buddhis
Untuk
melaksanakan tugas misionaris Buddhis tentu diperlukan kompetensi yang sesuai,
meliputi pemahaman mengenai ajaran agama Buddha dan kemampuan untuk mengajarkan
atau menyampaikan ajaran dengan baik. Kompetensi untuk mengajar adalah
kecakapan yang harus dimiliki seorang guru. Sebelum mengajarkan Dharma, seorang
misionaris harus sudah memahami dengan baik dan komprehensif, dan akan lebih
baik lagi bila ia telah mengamalkan ajaran tersebut dalam kehidupannya. Seorang
misionaris Buddhis hendaknya memiliki kepribadian yang sesuai ajaran Buddha.
Priastana (2005: 24) mengutip Anguttara Nikaya mengemukakan delapan sifat
seorang Dharmaduta yaitu: (1) telah mendengar banyak tentang Dhamma-Vinaya, (2)
dapat membimbing orang lain untuk mendengar (mampu mengajar), (3) terpelajar
(telah merenungkan apa yang telah didengarnya), (4) selalu mengingat apa yang
telah dipelajarinya, (5) mengerti kata-kata dan semangat Dharma-Vinaya, (6)
dapat membimbing orang lain untuk mengerti, (7) tahu apa yang menguntungkan dan
apa yang tidak menguntungkan mengenai pelaksanaan Dhamma, dan (8) tidak membuat
masalah antara bhikkhu atau umat awam.
Misionaris
harus memiliki pengetahuan, perasaan, dan perbuatan baik yang tercermin dalam
sikap pengabdian misionaris. Sikap seorang misionaris akan tumbuh apabila
memiliki kemampuan atau kepandaian yang diperlukan sebagai misionaris.
Priastana (2005: 31) mengemukakan kompetensi seorang misionaris yaitu
receptive, selective, diggestive, asimilative, dan transmitive. Kompetensi
receptive adalah kemampuan menerima gagasan. Kompetensi selective adalah
kemampuan menyeleksi pesan, gagasan, dan informasi. Kompetensi digestive adalah
kemampuan menganalisis inti hakikat pesan. Kompetensi asimilatif adalah
kemampuan mengkorelasi pesan-pesan. Kompetensi transmitif berarti mampu
menyampaikan ajarannya dengan menggunakan kata yang fungsional, logis, dan
tepat waktu.
Kompetensi
di atas penting karena seorang Dharmaduta harus mampu mengaitkan antara Dharma
dengan ilmu pengetahuan modern, harus mampu memberikan bimbingan cara
mengaplikasikan teori Dharma ke dalam praktik kehidupan sehari-hari. Singkatnya
seorang Dharmaduta harus memiliki bekal ilmu pengetahuan yang baik, dan harus
memahami Dharma kontekstual yaitu kemampuan menggunakan Dharma untuk mengatasi
berbagai permasalahan kehidupan.
Misionaris
Buddhis mempunyai tujuan yang jelas. Rasyid & Widya (1989: 8) mengemukakan
empat tujuan seorang misionaris Buddhis yaitu: (1) menyebarkan Buddha Dharma
dengan jalan pemberitahuan Buddha Dharma kepada umat manusia (vitharanam),
memelihara kemurnian dan keaslian Buddha Dharma (havanam), menjaga kelangsungan
Dharma Buddha agar tetap lestari (santaranam), 2) mempelajari dan mempraktikkan
Dharma dengan benar, (3) melindungi Dharma dari kemerosotan ajaran serta
kehancuran agama, dan (4) mengajarkan Dharma demi kebahagiaan semua makhluk .
Misionaris
Buddhis memiliki tujuan awal yaitu menyebarkan Buddha Dharma dengan jalan
pemberitahuan (vitharanam). Misionaris yang baik dan berkompeten harus mampu
menyampaikan Dharma dengan baik, dan diimbangi dengan perilaku dan etika moral
yang baik sehingga umat menaruh perhatian dan hormat kepada Dharma dengan
benar.
Misionaris
Buddhis yang berkompeten mampu memelihara Dharma (havanam). Memelihara Dharma
berarti melindungi dari usaha penyelewengan dan pencemaran sehingga umat mengetahui kebenaran ajaran Buddha.
Melindungi Dharma dengan cara terus
berupaya meningkatkan keyakinan, meningkatkan kesadaran umat untuk
mendengarkan, mengingat, menghafal, mempelajari, dan melaksanakan Dharma dengan
benar. Dengan demikian Dharma terpelihara kemurniannya.
Misionaris
Buddhis harus melestarikan, memperkokoh, dan mempertahankan Dharma (santaram).
Kelestarian Dharma akan terjadi apabila masih ada orang yang menyampaikan dan
menghormat kepada Dharma. Misionaris Buddhis harus mampu menyampaikan Dharma
dengan benar.
Manfaat
Misionaris Buddhis
Seorang
misionaris Buddhis harus memiliki motivasi yang kuat untuk membabarkan Dharma.
Motivasi ini akan diperolehnya antara lain dengan memiliki kesadaran akan
manfaat yang besar dari pembabaran Dharma. Manfaat pembabaran Dharma akan
diperoleh oleh kedua pihak baik pembabar maupun penerima Dharma. Dalam
Dhammapada Tanhavagga syair 354 Buddha bersabda:
Sabba
danam Dhamma danam jinati
Sabbaj
rasaj Dhammaraso jinati
Sabbaj
ratij Dhammarati jinati
Tanhakkhayo
sabbadukkhaj jinati
(Hinuber
& Norman, 2003: 99)
Syair
tersebut menyatakan bahwa dana (pemberian) ‘Dharma’ (Kebenaran) mengalahkan
semua pemberian lainnya; rasa Dharma mengalahkan semua rasa lainnya;
kegembiraan dalam Dharma mengalahkan semua kegembiraan lainnya; orang yang
telah menghancurkan nafsu keinginan akan mengalahkan semua penderitaan. Seorang
pembabar Dharma memiliki kebajikan yang besar karena memberikan ajaran
kebenaran. Dengan membabarkan Dharma maka pemahamannya akan semakin baik,
keyakinannya semakin kuat, dan motivasi dirinya semakin besar untuk mengamalkan
ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Ia akan selalu tertantang untuk
menjadi teladan bagi umatnya. Sementara penerima Dharma akan mendapatkan manfaat
berupa pemahaman dan keyakinan akan Dharma, yang akan membawa pada kebahagiaan
dan kesejahteraan baginya.
Kesimpulan
Semua
umat Buddha bertanggung jawab untuk membabarkan Dharma dengan cara yang benar,
berdasarkan cinta kasih demi kebahagiaan semua makhluk. Tidak dibenarkan
mengajarkan agama dengan paksaan apalagi kekerasan, dipenuhi sifat egois, atau
pamrih apapun bahkan demi agama. Umat Buddha memegang prinsip agama untuk
hidup, bukan hidup untuk agama. Untuk
menjadi seorang misionaris Buddhis diperlukan sikap yang bijaksana dan
kompetensi yang mendukung agar dapat
membabarkan Dharma dengan baik. Kegiatan misionaris Buddhis akan memberikan
manfaat baik bagi pembabar Dharma maupun pihak yang menerima ajaran. Sangat
penting bagi setiap umat Buddha untuk menumbuhkan jiwa misionaris pada dirinya
sendiri. Bagi para guru dan pembina umat Buddha juga sangat penting untuk menumbuhkan
jiwa misionaris bagi para siswanya atau umat binaannya.
Baca Juga : Toleransi Beragama dalam Perspektif Agama Buddha
Artikel ini dimuat di Jurnal "Pelita Dharma" Volume. 3 Nomor. 1 Juni 2017
Jurusan Dharmaduta STAB Negeri Sriwijaya Tangerang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar