Dharma Insight

Semua Tentang Dharma Universal

Prinsip Misionaris Agama Buddha | Jurnal Penelitian

PRINSIP MISIONARIS AGAMA BUDDHA

Setiap umat beragama lazimnya ingin menunjukkan rasa bakti kepada agamanya. Sebagian diantaranya ditempuh dengan cara berupaya mengajarkan ajaran agamanya bahkan menyebarkan kepada pemeluk agama lain. Hal ini  dilakukan untuk menambah jumlah umat sehingga agamanya berkembang pesat. Upaya ini ditempuh baik secara tersamar maupun terang- terangan, dengan cara halus maupun kekerasan, bahkan terdapat juga umat yang menganut dan menempuh cara radikal. Cara paling umum yang sering terlihat adalah upaya penyebaran agama yang dikenal sebagai misionaris dilakukan oleh para misionaris agama. Tidak jarang terjadi suasana yang kurang harmonis antarumat beragama karena upaya-upaya semacam ini.

Ditengah gencarnya serbuan umat beragama terhadap pihak agama lain untuk mendapatkan pengikut, umat Buddha seolah diam dan terkesan pasif. Umat Buddha relatif mengalah ketika umat agama lain berusaha mengambil umatnya. Sikap ini dilakukan terutama karena umat Buddha cinta damai dan selalu berusaha mengembangkan cinta kasih walaupun mendapatkan perlakuan yang merugikan. Pada kenyataannya terdapat banyak kasus di mana umat Buddha berpindah agama akibat pengaruh pihak lain tersebut. Memang di samping kerugian, terdapat juga dampak positif yaitu agama Buddha menjadi dikenal sebagai agama yang cinta damai.

Melihat sikap agama Buddha dalam menghadapi ancaman dari luar, akan timbul pertanyaan dalam diri umat Buddha sendiri. Apakah Sang Buddha tidak memerintahkan para siswanya untuk bertanggung jawab terhadap kelestarian Dharma dan menyebarluaskan ajarannya? Apakah Buddha tidak menanamkan jiwa misionaris kepada para siswanya? Apakah Buddha tidak membentuk umat Buddha militan yang setia kepada agamanya?

Misionaris berasal dari kata misi yang dalam bahasa Latin mission yang diangkat dari kata miterre yang artinya mengirim atau mengutus (Harianto, 2012: 5) Misionaris adalah kegiatan mengutus orang lain untuk menyebarkan ajaran agama. Kata misionaris lebih dikenal di kalangan agama Kristen yang merupakan agama misi yang berarti perutusan atau dakwah. Sebagai agama misi, Kristen mewajibkan umatnya untuk melakukan penginjilan sebagai salah satu bentuk kegiatan dakwah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Dendy Sugono, 2008: 921) disebutkan bahwa misionaris adalah orang yang melakukan penyebaran warta injil kepada orang lain yang belum mengenal Kristus (Katolik). Kegiatan misionaris adalah kegiatan yang dilakukan oleh umat Kristen yang bertujuan untuk mengajarkan ajaran Yesus baik di kalangan umat sendiri maupun non-Kristen.

Dalam agama Buddha, istilah misionaris lebih dikenal sebagai Dharmaduta (utusan Dharma). Priastana (2005: 18) mendefinisikan Dharmaduta sebagai utusan Dharma, yaitu seseorang yang menyebarkan Dharma dan membuat orang lain ikut meyakini Dharma, serta bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan banyak orang. Pada saat ini yang disebut sebagai Dharmaduta tidak terbatas pada orang dengan status tertentu. Tugas Dharmaduta dapat dilaksanakan oleh para  bhikkhu maupun umat awam seperti pandita, penyuluh agama, guru, dosen, dan siapapun yang melakukan kegiatan pembabaran Dharma.

Misionaris Buddhis bertujuan untuk kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan semua makhluk. Jayatilleke (dalam Dhammananda, 2012: 31) menyatakan bahwa agama Buddha adalah agama misionaris dalam sejarah kemanusiaan dengan suatu pesan keselamatan yang universal bagi semua umat manusia. Buddha adalah seorang guru yang cinta damai, dan sangat toleran terhadap penganut kepercayaan lain. Buddha tidak pernah menggunakan kekerasan sekecil apapun dalam membabarkan Dharma, karena Ia hanya berdasarkan cinta kasih semata dalam mengajar kepada siapa pun. Hal ini telah ditanamkan oleh Buddha sejak pertama kali Ia mengutus para siswanya yaitu 60 bhikkhu arahat untuk membabarkan Dharma ke semua  makhluk.  Dalam  kitab  suci Vinaya Pitaka, Buddha memerintahkan para bhikkhu sebagai berikut:

“Walk, monks, on tour for the blessing of the manyfolk, for the happiness of the manyfolk out of compassion for the world, for the welfare, the blessing, the happiness of devas and men” (Horner, 2007: 28). (Pergilah, para bhikkhu, dalam perjalanan untuk berkah banyak orang, untuk kebahagiaan banyak orang karena welas asih terhadap dunia, untuk kesejahteraan, berkah, kebahagiaan para dewa dan manusia).

Pasca kehidupan Buddha Gotama, misionaris Buddhis tetap melanjutkan misi menyebarkan Dharma. Salah satu tokoh misionaris yang berjasa menyebarkan Dharma ke berbagai penjuru dunia adalah Raja Asoka dari negara Magadha pada sekitar abad 3 SM. Asoka mengirim Dharmaduta ke segenap penjuru dunia, Majjhantika dikirim ke Kasmir; Gandhara dan Mahadeva ke Mahisamandala; Rakkhita ke Vanavasa; Yona Dhammarakkhita ke Aparantaka (India Barat); Maharakhita ke Yona; Majjhima ke wilayah Himalaya; Sona dan Uttara ke  Suvannabhumi  (Malaya dan Sumatera); Mahinda dengan Itthiya, Uttiya, Sambala dan Bhaddasala ke Srilanka (Widyadharma, online).

Di Indonesia, pada era Hindia Belanda agama Buddha bangkit berkat jasa misionaris Buddhis yaitu Bhikkhu Narada dari Srilanka yang dimulai pada tahun 1934. Kegiatan misionaris yang dilakukan oleh Bhikkhu Narada yaitu memberikan khotbah Dharma, memberikan cangkokan pohon Bodhi yang berasal dari pohon Bodhi di Bodgaya India yang kemudian ditanam di Candi Borobudur, memberikan bantuan dan dukungan berdirinya Java Buddhist Association (Perhimpunan Buddhis) pertama di Indonesia, menjalin kerja sama dengan kelenteng-kelenteng serta perhimpunan Theosofi di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah, dan melantik upasaka dan upasika di beberapa daerah (Diputhera, 2006: 23). Pada masa kemerdekaan, misionaris yang berjasa untuk kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia antara lain Bhikkhu Jinarakkhita, Bhikkhu Girirakkhito, dan  Bhikkhu Jinaputta (Rashid & Widya, 1989).

Prinsip Misionaris Buddhis
Misionaris Buddhis tidak bertugas untuk membuat seluruh umat manusia menjadi beragama Buddha. Tugas seorang misionaris Buddhis adalah menunjukkan jalan benar untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi maupun kebahagiaan tertinggi nibbana. Misi yang diemban bukanlah untuk meningkatkan kuantitas umat Buddha melainkan kualitas pemahaman dan praktik Dharma bagi umatnya, dan mengabarkan Dharma kepada siapa pun yang mau menerima sebagai sebuah jalan kebaikan.

Dalam membabarkan Dharma, Buddha tidak bermaksud mencari pengikut ataupun mengubah keyakinan atau cara hidup seseorang, melainkan untuk menunjukkan jalan melenyapkan permasalahan kehidupan, hanya bertujuan membantu semua makhluk untuk terbebas dari penderitaan. Indikator keberhasilan pembabaran Dharma bukanlah pada bertambahnya jumah umat pengikut Buddha, jumlah umat agama lain yang berhasil ditarik masuk ke agama Buddha, ataupun jumlah umat  Buddha  yang rajin beribadah di vihara. Pembabaran Dharma dikatakan berhasil bila dapat bermanfaat bagi umat, merasa lebih bahagia dan bijaksana setelah memahami dan mengamalkan Dharma dalam  kehidupannya.

Buddha menghargai ajaran lain. Dalam membabarkan Dharma, Buddha tidak bermaksud mencari pengikut ataupun mengubah keyakinan atau cara hidup seseorang, melainkan untuk menunjukkan jalan melenyapkan permasalahan kehidupan, hanya bertujuan membantu semua makhluk terbebas dari penderitaan. Buddha menghargai ajaran lain. Dalam mengajarkan Dharma, Buddha tidak memaksa siapapun untuk mengikuti ajarannya. Dalam kitab suci Digha Nikaya, Udumbarika-Sihanada Sutta, Buddha bersabda kepada petapa Nigrodha yang menganut cara hidup penyiksaan diri, sebagai berikut:

Maybe, Nigrodha, you will think: The Samana Gotama has said this from a desire to get pupils; but you are not thus to explain my words. Let him who is your teacher be your teacher still. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has said this from a desire to make us secede from our rule; but you are not thus to explain my words. Let that which is your rule be your rule still. Nigrodha, you will think: The Samana Gotama has said this from a desire to make us secede from our mode of livelihood; but you are not thus to explain my words. Let that which is your mode of livelihood be so still. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has said this from a desire to confirm us as to such points of our doctrines as are wrong, and reckoned as wrong by those ini our community; but you are not thus to explain my words. Let those points in your doctrines which are wrong and reckoned as wrong by those in your community, remain so still for you. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has said this from a desire to detach us from such points in our doctrines as are good, reckoned as good by those ini our community; but you are not thus to explain my words. Let those points ini your doctrines which are good, reckoned to be good by those in your community, remain so still (Davids, 2002: 51).

Dari sutta tersebut diketahui bahwa Sang Buddha meyakinkan Nigrodha, ia mengajarkan Dharma tidak didorong oleh keinginan untuk mendapatkan murid, atau agar orang lain meninggalkan aturan yang ditaati, cara penghidupan yang dijalani, mempersalahkan doktrin yang dianut. Buddha membebaskan orang lain untuk menerima atau mengabaikan ajaran-Nya.

Agama Buddha tidak anti tradisi atau budaya yang sudah ada, bahkan mendukung tradisi yang sudah dimiliki masyarakat bila memang itu baik dan membawa kepada kebijaksanaan. Untuk melaksanakan ajaran agama Buddha tidak perlu menghilangkan tradisi apapun yang baik. Buddha menyerahkan sepenuhnya kepada umatnya untuk melakukan apa yang menurutnya baik.

Tanggung Jawab untuk Menjadi Misionaris Buddhis.
Untuk kelestarian dan kemajuan suatu agama tentu diperlukan umat yang peduli, mempunyai panggilan  jiwa, memiliki dedikasi tinggi, dan merasa mempunyai tanggung jawab atas hal itu. Dalam jajaran umat Buddha, bhikkhu mempunyai tanggung  jawab paling  besar untuk  menjaga  Dharma.  Dalam Dharmadayada Sutta (Majjhima Nikaya) Buddha bersabda “Bhikkhus, be my heirs in Dhamma, not my heirs in material things” (Ñanamoli, 2001: 97). (Para bhikkhu, jadilah pewarisku dalam Dhamma, bukan pewarisku dalam materi). Kemudian dalam Mahaparinibbana Sutta (Digha Nikaya) dikisahkan saat menjelang wafat Buddha bersabda “The Truths, and the Rules of the Order, which I have set forth and laid down for you all, let them, after I am gone, be the Teacher for you” (Davids, 2002: 171). (Kebenaran (Dhamma), dan Aturan (Vinaya), yang telah saya tetapkan dan tetapkan untuk kalian semua, biarkan mereka, setelah saya pergi, menjadi Guru bagi kalian).

Dari dua khotbah tersebut dapat disimpulkan bahwa bhikkhu adalah pewaris Dharma yang bertanggung jawab menjaga Dharma. Tugas itu dilaksanakan dengan cara memahami ajaran (Dharma) melaksanakan aturan (Vinaya). Dengan pemahaman Dharma yang dimilikinya dan dipraktikkan dalam hidupnya, seorang bhikkhu merupakan orang yang memiliki kompetensi yang baik untuk mengajarkan Dharma kepada umat.

Dalam Pathamasaddha Sutta (Anguttara Nikaya VIII.71), dijelaskan bahwa seorang bhikkhu mungkin dihiasi dengan moral yang baik serta terpelajar, tetapi jika tidak menjadi seorang pembabar Dharma yang baik, dalam hal ini ia masih kurang. Kebajikan mengajarkan Dharma adalah kesempurnaan kualitas bagi seorang bhikkhu.

Monks, a monk has faith, virtue and learning, but is no Dhamma preacher... he can preach, but his walk is not in the assembly ... his walk is in the assembly, but he teaches Dhamma in the assembly without confidence... he teaches Dhamma with confidence, but cannot attain at will... Then must that part be perfected” (Davids, 2006: 210) (Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu memiliki keyakinan, moralitas, dan terpelajar, tetapi bukan pengkhotbah Dhamma... ia dapat berkhotbah, tetapi langkahnya bukanlah dalam perkumpulan ... jalannya adalah dalam perkumpulan, tetapi ia mengajarkan Dhamma dalam perkumpulan tanpa keyakinan ... dia mengajarkan Dhamma dengan keyakinan, tetapi tidak dapat mencapainya sesuka hati... Maka bagian itu harus disempurnakan).

Dalam Saddhammapatirupaka Sutta (Samyutta Nikaya) ditegaskan bahwa lenyap dan bertahannya Ajaran Kebenaran (Dharma) menjadi tanggung jawab semua jajaran umat Buddha, tidak hanya para bhikkhu saja tetapi juga para bhikkhuni, upasaka, dan upasika, sebagai berikut.

That's the way it is, Kassapa. When beings are deteriorating and the true Dhamma is disappearing, there are more training rules but fewer bhikkhus are established in final knowledge. Kassapa, the true Dhamma does not disappear as long as a counterfeit of the true Dhamma has not arisen in the world. But when a counterfeit of the true Dhamma has arisen in the world, then the true Dhamma disappears... 
There are five things, Kassapa, that lead to longevity of the true Dhamma, to its nondecay and nondisappeareance. What are the five? Here the bhikkhus, the bhikkhunis, the male lay followers, and the female lay followers dwell with reverence and deference towards the Teacher; they dwell with reverence and deference towards the Dhamma; they dwell with reverence and deference towards the Sangha; they dwell with reverence and deference towards the training, they dwell with reverence and deference towards the concentration (Bodhi, 2000: 681).

(Ketika makhluk-makhluk memburuk dan Dhamma sejati menghilang, ada lebih banyak aturan pelatihan tetapi lebih sedikit bhikkhu yang mantap dalam pengetahuan akhir. Dhamma sejati tidak akan lenyap selama Dhamma sejati yang palsu belum muncul di dunia. Tetapi ketika Dhamma palsu telah muncul di dunia, maka Dhamma sejati lenyap. Ada lima hal, yang menuntun pada umur panjang dari Dhamma sejati, menuju keabadian dan ketidaklenyapannya. Apa itu lima? Di sini para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan berdiam dengan hormat dan hormat kepada Sang Guru; mereka berdiam dengan hormat dan hormat terhadap Dhamma; mereka berdiam dengan rasa hormat dan hormat terhadap Sangha; mereka berdiam dengan hormat dan hormat terhadap latihan, mereka berdiam dengan hormat dan hormat terhadap konsentrasi).

Umat awam juga bertanggung jawab atas kelestarian Dharma dengan cara mempelajari dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika mampu umat awam juga dapat mengajarkan Dharma ke orang lain yang belum mengerti. Eksistensi dan kemurnian Dharma ajaran kebenaran harus dijaga dengan cara tidak semata dilaksanakan sebagai pedoman hidup juga harus diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap umat Buddha mempunyai kewajiban untuk mengajarkan Dharma kepada siapa pun yang mau menerima. Dharma diajarkan tidak harus dengan label agama Buddha, melainkan sebagai kebenaran yang universal. Dengan cara demikian maka Dharma akan lebih mudah diterima oleh siapa pun.

Seorang perumahtangga atau umat awam juga mempunyai kewajiban mengajarkan Dharma kepada orang lain. Hal ini terlihat dari pengukuhan oleh Buddha kepada seorang siswa bernama Citta sebagai umat yang terunggul dalam pembabaran Dharma (Dhammakathika),  seperti  tercantum  dalam  Anguttara Nikaya I.XIV.6 : “Monks, chief among my disciples, lay-followers, of Dhamma-teachers, is Citta, the housefather of Macchikasanda” (David, 2006: 22- 23). (Para bhikkhu, pemimpin di antara para siswaku, umat awam, guru-Dhamma, adalah Citta, ayah dari Macchikasanda). Dari tindakan Buddha ini dapat disimpulkan bahwa umat awam juga mempunyai kualitas sebagai pembabar Dharma, dengan demikian mempunyai kewajiban untuk membabarkan Dharma.

Kompetensi Misionaris Buddhis
Untuk melaksanakan tugas misionaris Buddhis tentu diperlukan kompetensi yang sesuai, meliputi pemahaman mengenai ajaran agama Buddha dan kemampuan untuk mengajarkan atau menyampaikan ajaran dengan baik. Kompetensi untuk mengajar adalah kecakapan yang harus dimiliki seorang guru. Sebelum mengajarkan Dharma, seorang misionaris harus sudah memahami dengan baik dan komprehensif, dan akan lebih baik lagi bila ia telah mengamalkan ajaran tersebut dalam kehidupannya. Seorang misionaris Buddhis hendaknya memiliki kepribadian yang sesuai ajaran Buddha. Priastana (2005: 24) mengutip Anguttara Nikaya mengemukakan delapan sifat seorang Dharmaduta yaitu: (1) telah mendengar banyak tentang Dhamma-Vinaya, (2) dapat membimbing orang lain untuk mendengar (mampu mengajar), (3) terpelajar (telah merenungkan apa yang telah didengarnya), (4) selalu mengingat apa yang telah dipelajarinya, (5) mengerti kata-kata dan semangat Dharma-Vinaya, (6) dapat membimbing orang lain untuk mengerti, (7) tahu apa yang menguntungkan dan apa yang tidak menguntungkan mengenai pelaksanaan Dhamma, dan (8) tidak membuat masalah antara bhikkhu atau umat awam.

Misionaris harus memiliki pengetahuan, perasaan, dan perbuatan baik yang tercermin dalam sikap pengabdian misionaris. Sikap seorang misionaris akan tumbuh apabila memiliki kemampuan atau kepandaian yang diperlukan sebagai misionaris. Priastana (2005: 31) mengemukakan kompetensi seorang misionaris yaitu receptive, selective, diggestive, asimilative, dan transmitive. Kompetensi receptive adalah kemampuan menerima gagasan. Kompetensi selective adalah kemampuan menyeleksi pesan, gagasan, dan informasi. Kompetensi digestive adalah kemampuan menganalisis inti hakikat pesan. Kompetensi asimilatif adalah kemampuan mengkorelasi pesan-pesan. Kompetensi transmitif berarti mampu menyampaikan ajarannya dengan menggunakan kata yang fungsional, logis,  dan  tepat waktu.

Kompetensi di atas penting karena seorang Dharmaduta harus mampu mengaitkan antara Dharma dengan ilmu pengetahuan modern, harus mampu memberikan bimbingan cara mengaplikasikan teori Dharma ke dalam praktik kehidupan sehari-hari. Singkatnya seorang Dharmaduta harus memiliki bekal ilmu pengetahuan yang baik, dan harus memahami Dharma kontekstual yaitu kemampuan menggunakan Dharma untuk mengatasi berbagai permasalahan kehidupan.

Misionaris Buddhis mempunyai tujuan yang jelas. Rasyid & Widya (1989: 8) mengemukakan empat tujuan seorang misionaris Buddhis yaitu: (1) menyebarkan Buddha Dharma dengan jalan pemberitahuan Buddha Dharma kepada umat manusia (vitharanam), memelihara kemurnian dan keaslian Buddha Dharma (havanam), menjaga kelangsungan Dharma Buddha agar tetap lestari (santaranam), 2) mempelajari dan mempraktikkan Dharma dengan benar, (3) melindungi Dharma dari kemerosotan ajaran serta kehancuran agama, dan (4) mengajarkan Dharma demi kebahagiaan semua makhluk .

Misionaris Buddhis memiliki tujuan awal yaitu menyebarkan Buddha Dharma dengan jalan pemberitahuan (vitharanam). Misionaris yang baik dan berkompeten harus mampu menyampaikan Dharma dengan baik, dan diimbangi dengan perilaku dan etika moral yang baik sehingga umat menaruh perhatian dan hormat kepada Dharma dengan benar.

Misionaris Buddhis yang berkompeten mampu memelihara Dharma (havanam). Memelihara Dharma berarti melindungi dari usaha penyelewengan dan pencemaran sehingga  umat mengetahui kebenaran ajaran Buddha. Melindungi  Dharma dengan cara terus berupaya meningkatkan keyakinan, meningkatkan kesadaran umat untuk mendengarkan, mengingat, menghafal, mempelajari, dan melaksanakan Dharma dengan benar. Dengan demikian Dharma terpelihara kemurniannya.

Misionaris Buddhis harus melestarikan, memperkokoh, dan mempertahankan Dharma (santaram). Kelestarian Dharma akan terjadi apabila masih ada orang yang menyampaikan dan menghormat kepada Dharma. Misionaris Buddhis harus mampu menyampaikan Dharma dengan benar.

Manfaat Misionaris Buddhis
Seorang misionaris Buddhis harus memiliki motivasi yang kuat untuk membabarkan Dharma. Motivasi ini akan diperolehnya antara lain dengan memiliki kesadaran akan manfaat yang besar dari pembabaran Dharma. Manfaat pembabaran Dharma akan diperoleh oleh kedua pihak baik pembabar maupun penerima Dharma. Dalam Dhammapada Tanhavagga syair 354 Buddha bersabda:
Sabba danam Dhamma danam jinati
Sabbaj rasaj Dhammaraso jinati
Sabbaj ratij Dhammarati jinati
Tanhakkhayo sabbadukkhaj jinati
(Hinuber & Norman, 2003: 99)

Syair tersebut menyatakan bahwa dana (pemberian) ‘Dharma’ (Kebenaran) mengalahkan semua pemberian lainnya; rasa Dharma mengalahkan semua rasa lainnya; kegembiraan dalam Dharma mengalahkan semua kegembiraan lainnya; orang yang telah menghancurkan nafsu keinginan akan mengalahkan semua penderitaan. Seorang pembabar Dharma memiliki kebajikan yang besar karena memberikan ajaran kebenaran. Dengan membabarkan Dharma maka pemahamannya akan semakin baik, keyakinannya semakin kuat, dan motivasi dirinya semakin besar untuk mengamalkan ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Ia akan selalu tertantang untuk menjadi teladan bagi umatnya. Sementara penerima Dharma akan mendapatkan manfaat berupa pemahaman dan keyakinan akan Dharma, yang akan membawa pada kebahagiaan dan kesejahteraan baginya.


Kesimpulan
Semua umat Buddha bertanggung jawab untuk membabarkan Dharma dengan cara yang benar, berdasarkan cinta kasih demi kebahagiaan semua makhluk. Tidak dibenarkan mengajarkan agama dengan paksaan apalagi kekerasan, dipenuhi sifat egois, atau pamrih apapun bahkan demi  agama.  Umat Buddha memegang prinsip agama untuk hidup, bukan  hidup untuk agama. Untuk menjadi seorang misionaris Buddhis diperlukan sikap yang bijaksana dan kompetensi  yang mendukung agar dapat membabarkan Dharma dengan baik. Kegiatan misionaris Buddhis akan memberikan manfaat baik bagi pembabar Dharma maupun pihak yang menerima ajaran. Sangat penting bagi setiap umat Buddha untuk menumbuhkan jiwa misionaris pada dirinya sendiri. Bagi para guru dan pembina umat Buddha juga sangat penting untuk menumbuhkan jiwa misionaris bagi para siswanya atau umat binaannya.

 

Artikel ini dimuat di Jurnal "Pelita Dharma" Volume. 3 Nomor. 1 Juni 2017
Jurusan Dharmaduta STAB Negeri Sriwijaya Tangerang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar