Vihara mempunyai peran penting dalam mendukung
terlaksananya pendidikan agama Buddha. Siswa Buddhis di sekolah yang tidak
mendapatkan pendidikan agama Buddha formal di sekolahnya, sangat bergantung
pada vihara. Maka seyogyanya vihara dapat memberikan layanan pendidikan bagi
para siswa dengan baik. Tetapi tidak semua vihara mampu melaksanakan dengan
baik, atau menemui berbagai kendala untuk melaksanakan tugas tersebut.
Bagaimana pelaksanaan pendidikan agama Buddha di vihara? Apa saja kendalanya? Bagaimana strategi yang dikembangkan oleh vihara? Penelitian ini berusaha mengungkapkan permasalahan tersebut.
PERAN LEMBAGA KEAGAMAAN BUDDHA KABUPATEN TANGERANG DAN KOTA TANGERANG SELATAN DALAM PELAYANAN PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA
Puji Sulani, Sabar Sukarno, Muawanah, Vonda Karuna Eka Susandy
STABN Sriwijaya Tangerang Banten
PENDAHULUAN
Pelaksanaan pendidikan agama di
sekolah sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan, secara umum telah
dilaksanakan oleh satuan pendidikan. Akan tetapi hak peserta didik untuk
mendapatkan pendidikan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik seagama
belum sepenuhnya diperoleh peserta didik dengan latar belakang agama tertentu.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk memecahkan
masalah layanan pendidikan agama. Namun demikian upaya tersebut belum dilakukan
secara maksimal, karena masih terdapat peserta didik yang belum mendapat
layanan pendidikan agama sesuai agamanya dengan berbagai alasan. Hal tersebut
dimungkinkan karena keaktifan masyarakat masih sangat minim untuk turut andil
memberikan solusi dan pelayanan.
Tidak diperolehnya layanan pendidikan
agama sesuai agamanya, juga terjadi pada peserta didik beragama Buddha di
berbagai wilayah. Salah satu daerah dengan sekolah-sekolah negeri maupun swasta
yang peserta didik beragama Buddha tidak mendapat layanan pendidikan agama
adalah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Penduduk beragama Buddha
yang tersebar di wilayah Kabupaten Tangerang berjumlah 48.123 (1,70%) dari
total penduduk berjumlah 2.834.376 dan di Kota Tangerang Selatan berdasarkan
data sensus 2010, berjumlah 11.163 (0,87%) dari total penduduk berjumlah
1.290.322 (http://sp2010.bps.go.id/). Dengan jumlah umat Buddha tersebut,
terdapat sekolah negeri dan swasta yang memberikan pelayanan Pendidikan Agama
Buddha di Kabupaten Tangerang berjumlah 20 sekolah, sedangkan di Kota
Tangerang Selatan berjumlah tiga sekolah (Data Pembimas Buddha Kanwil Kemenag
Provinsi Banten, 5 Oktober 2017). Dari sekolah tersebut terdapat sekolah beryayasan
Buddhis di Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Keberadaan sekolah beryayasan Buddhis
di kedua wilayah tersebut belum memadai untuk memberikan layanan kepada peserta
didik beragama Buddha, di samping peserta didik yang memilih sekolah negeri
karena faktor biaya. Meskipun demikian, belum semua sekolah negeri memberikan
layanan dan menjalin kerja sama dengan masyarakat untuk memberikan layanan
Pendidikan Agama Buddha. Kondisi tersebut menyebabkan peserta didik beragama
Buddha tidak mendapatkan pelajaran Pendidikan Agama Buddha baik di sekolah
formal maupun di lembaga keagamaan. Beberapa peserta didik di Kota Tangerang
Selatan dan Kabupaten Tangerang juga mengalami kendala yang sama, sehingga
beberapa orangtua dan/atau peserta didik yang memahami fungsi dan peran
masyarakat dalam pendidikan, memilih mendapatkan layanan pendidikan agama dan
keagamaan Buddha di lembaga keagamaan terutama dari wihara atau cetiya.
Permasalahan belum meratanya
layanan pendidikan agama bagi peserta
didik beragama Buddha di berbagai daerah, termasuk Kabupaten Tangerang dan Kota
Tangerang Selatan menjadi tanggung jawab bersama antara masyarakat dan
pemerintah untuk mencari dan menemukan solusi yang tepat. Kolaborasi antara
pemerintah dan masyarakat diperlukan dalam memberikan solusi pemerataan
pendidikan agama Buddha, karena masalah pendidikan tidak hanya menjadi tanggung
jawab pemerintah tetapi juga masyarakat termasuk lembaga keagamaan Buddha yaitu
wihara, majelis, dan organisasi lain.
Beberapa wihara atau cetiya sebagai salah satu lembaga keagamaan telah
berperan dan berkontribusi dalam memberikan layanan pendidikan agama melalui
program kegiatan Intensive Class (IC) atau I-Class dan Dhammaclass.
Berdasarkan data jumlah umat Buddha di
wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, diketahui bahwa data
tersebut kurang sebanding dengan ketersediaan sekolah beryayasan Buddhis, di
samping belum meratanya layanan
Pendidikan Agama Buddha pada sekolah swasta maupun negeri. Kondisi ini
membutuhkan peran dan kontribusi lembaga keagamaan Buddha, mengingat layanan
pendidikan menjadi salah satu tanggung jawab lembaga keagamaan Buddha terutama
wihara atau cetiya. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian lebih lanjut
melalui penelitian terkait peran lembaga keagamaan Buddha terutama wihara dan
cetiya di Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan dalam memberikan
pelayanan Pendidikan Agama Buddha. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan apa dan sejauhmana wihara dan cetiya yang ada di Kabupaten
Tangerang dan Kota Tangerang Selatan dalam memberikan pelayanan Pendidikan
Agama Buddha kepada peserta didik.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Peran
Hendro Puspito (1989: 182) menyatakan
bahwa peran adalah suatu konsep fungsional yang menjelaskan fungsi seseorang
(lembaga) dan dibuat atas dasar tugas-tugas yang nyata dilakukan seseorang
(lembaga). Peran sebagai konsep yang menunjukkan apa yang dilakukan oleh
seseorang atau lembaga. Menurut Kozier Barbar (dalam Rusmawati, 2013: 402),
peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang demi kedudukannya dalam suatu sistem. Horton dan Hunt (1993:
129-130), menyatakan peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari
seseorang yang memiliki suatu status.
Suhardono (1994:
15, 3) menjelaskan peran
sebagai seperangkat patokan, norma, pengharapan yang membatasi perilaku
tertentu yang harus dilakukan oleh seseorang yang menduduki suatu posisi. Peran
berkaitan dengan posisi individu atau kelompok dalam kehidupan. Dimensi peran
menurut Sargnet dalam Santoso (2010: 223-226) mengandung empat hal yaitu bahwa
peranan sosial berbeda dalam: keluasan dan keragaman; kekhususan pemahaman;
peranan sosial berubah di dalam kontinuitas dan kematangan; peranan sosial
berubah secara besar- besaran dalam kepentingan dan prestise; seseorang
memperoleh banyak variasi latar dalam kemudahan atau kesukaran melaksanakan
peran-peran; pada beberapa latar kelembagaan seorang individu memainkan
beberapa peran; dan individu mengubah secara besar-besaran dalam penyatuan
macam-macam peranan mereka.
Lembaga Keagamaan
Lembaga-lembaga keagamaan merupakan
aktualisasi dan implementasi dari pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Lembaga keagamaan
berhimpun dalam satu wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis
(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan pasal 8).
Contoh lembaga keagamaan di Indonesia di antaranya adalah Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Persekutuan Gereje-gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali
Gereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwakilan
Umat Buddha Indonesia (WALUBI).
Lembaga keagamaan Buddha adalah
organisasi yang bertujuan mengembangkan dan membina kehidupan beragama Buddha.
Lembaga keagamaan Buddha merupakan organisasi yang dibentuk untuk memajukan
kepentingan keagamaan umat. Kepentingan tersebut berhubungan dengan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, untuk meningkatkan kualitas hidup
keagamaan masing-masing umat beragama Buddha.
Pelayanan Pendidikan Agama Buddha
Pendidikan Agama Buddha memberikan
pengetahuan dan keterampilan serta membentuk sikap dan kepribadian peserta
didik dalam mengamalkan ajaran agama Buddha (Pedoman Pembelajaran Pendidikan
Agama Buddha dan Budi Pekerti SMP). Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti
merupakan usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam
rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, serta
peningkatan potensi spiritual sesuai dengan ajaran agama Buddha (Badan Standar
Nasional Pendidikan, 2006: 89). Pelayanan Pendidikan Agama Buddha merupakan
cara dan usaha melayani kebutuhan umat Buddha untuk memperoleh pelajaran
Pendidikan Agama Buddha. Layanan Pendidikan Agama Buddha
meliputi kurikulum, pembelajaran, sumber daya manusia, pembiayaan, dan sarana-
prasarana. Cakupan layanan tersebut, idealnya juga berlaku untuk Pendidikan
Agama Buddha yang diberikan oleh Lembaga Keagamaan Buddha.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah kualitatif
deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian dilakukan di lembaga
pendidikan keagamaan Buddha meliputi Vihara Mulya Dharma, Cisauk; Cetiya Kusala
Cetana, Teluk Naga; Vihara Attanaga
Vimutti, Teluk Naga; Cetiya Brahmavihara, Tigaraksa; Vihara Dharmabakti,
Citraraya; dan Cetiya Dharma Dvipa, Tigaraksa. Wihara di Kota Tangerang Selatan
yang menjadi subjek penelitian adalah Vihara Siripada dan Vihara
Karunajala. Penelitian dilakukan pada
bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2017.
Sumber data dalam penelitian ini
ditentukan berdasarkan teknik purposive sampling dengan informannya adalah (1)
pengurus wihara dan cetiya, (2) pengajar; dan (3) siswa atau orangtua siswa di
wihara dan cetiya di wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan
yang menjadi subjek penelitian. Objek penelitian ini adalah peran pengurus
serta pengajar wihara dan cetiya dalam memberikan pelayanan Pendidikan Agama
Buddha. Metode pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Keabsahan data ditentukan berdasarkan derajat kepercayaan,
keteralihan, kebergantungan, dan kepastian. Teknik analisis data dilakukan
mengacu tiga langkah analisis data yang dikembangkan oleh Milles dan Huberman
yaitu reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah peserta didik beragama Buddha
di sekolah-sekolah rata-rata per sekolah mencapai 20-30 orang untuk jenjang SD
dan 15 orang untuk jenjang SMP dan SMA. Secara umum peserta didik berasal dari
sekolah negeri dan sebagian dari sekolah Kristen. Peserta didik beragama Buddha
pada sekolah negeri maupun swasta (Kristen) tersebut belum mendapatkan layanan
Pendidikan Agama Buddha. Menghadapi kondisi tersebut, secara mandiri orangtua
dan/atau peserta didik berupaya untuk mendapatkan pelajaran agama atau sekadar
nilai dengan datang ke wihara atau cetiya
dengan dan/ataupun tidak
difasilitasi oleh sekolah. Pengurus wihara
atau cetiya melayani kebutuhan
umat dengan memberikan nilai
kepada yang membutuhkan. Berdasarkan pengalaman pribadi dan sebagai orangtua,
terdapat pengurus wihara memiliki inisiatif
untuk memberikan nilai
dan/atau layanan Pendidikan Agama Buddha di wihara yang dikelola.
Pelayanan mulai dikelola dengan baik oleh pengurus wihara atau cetiya dengan
mendorong peserta didik yang membutuhkan nilai agar mengikuti kegiatan di
wihara atau cetiya.
Pendidikan Agama Buddha terutama di
Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan yang belum merata tidak dapat
teratasi tanpa campur tangan berbagai pihak termasuk masyarakat melalui lembaga
keagamaan Buddha. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 8 yang menyatakan bahwa
masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi program pendidikan. Pada Pasal 9 dinyatakan bahwa
masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan. Oleh karena itu masalah yang dihadapi oleh umat Buddha yang tidak
mendapatkan pelajaran Pendidikan Agama Buddha perlu diatasi oleh masyarakat
dengan dukungan pemerintah dan juga pihak lain yang berkepentingan.
Lembaga keagamaan Buddha berperan dan
turut serta membantu peserta didik beragama Buddha yang tidak mendapat pelayanan
pendidikan agama di sekolah formal. Hal ini sejalan dengan Pasal 4 ayat (4) PMA
Nomor 16 Tahun 2010 bahwa dalam hal jumlah peserta didik yang seagama pada satu
sekolah kurang dari 15 (lima belas) orang, maka pendidikan agama dilaksanakan
bekerja sama dengan sekolah lain, atau lembaga keagamaan yang ada di
wilayahnya. Peran wihara dan cetiya dalam memfasilitasi pendidikan agama
dilakukan dengan memberikan pelayanan Pendidikan Agama Buddha, menyediakan
kurikulum, sarana dan prasarana, pengajar, soal dan nilai, serta mengelola
pembiayaan pada layanan yang diberikan.
Layanan Pendidikan Agama Buddha diberikan melalui program
intensive class, dhammaclass, Sekolah Minggu Buddha, Sekolah Minggu Buddha dan
puja bhakti remaja, Sekolah Minggu Buddha dan
dhammaclass, atau melalui program
dhammaclass sebagai bagian
dari Sekolah Minggu Buddha. Program-program tersebut
umumnya berada di bawah pengelolaan koordinator bidang pendidikan tepatnya
pendidikan keagamaan Buddha yaitu Sekolah Minggu Buddha. Pada wihara atau
cetiya tertentu pelayanan Pendidikan Agama Buddha berada bawah pengelolaan
pengurus puja bhakti dan pengelolaan organisasi pemuda yang sekaligus mengurusi
kegiatan remaja.
Koordinator bidang pendidikan Sekolah Minggu
Buddha umumnya mengelola kegiatan untuk peserta didik usia prasekolah, PAUD dan SD, oleh karena itu
dalam memberikan layanan Pendidikan Agama Buddha cenderung menggunakan istilah
Sekolah Minggu Buddha, sedangkan untuk peserta didik usia SMP dan SMA
menggunakan istilah dhammaclass. Hal tersebut dilakukan oleh Vihara
Brahmavihara. Istilah yang digunakan Vihara Siripada adalah intensive class,
sedangkan Cetiya Dharma Dvipa menggunakan istilah dhammaclass dengan kegiatan
terpisah dari kegiatan Sekolah Minggu Buddha tetapi di bawah
pengelolaan pengurus Sekolah Minggu Buddha. Vihara Karunajala dan Vihara Dharma
Bhakti menggunakan istilah dhammaclass dengan kegiatan dan kepengurusan
terpisah dari kegiatan Sekolah Minggu Buddha baik kegiatan maupun waktu
pelaksanaannya. Vihara Attanaga Vimutti dan Cetiya Kusala Cetana menggunakan
istilah Sekolah Minggu Buddha dengan tidak secara langsung memberikan layanan
pendidikan agama sebagai bagian dari pendidikan agama pada sekolah formal,
tetapi hanya sebagai pelengkap pendidikan agama formal. Vihara Attanaga Vimutti
memberikan nilai agama, sedangkan Cetiya Kusala Cetana memberikan nilai ujian
praktik jika ada peserta didik yang meminta.
Lembaga keagamaan memberikan layanan
melalui pembelajaran dengan menggunakan kurikulum Pendidikan Agama Buddha formal yaitu
Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013;
kurikulum Pendidikan Agama Buddha formal yang dipadukan kurikulum vihara atau
cetiya, dan kurikulum yang dikembangkan sendiri oleh wihara atau cetiya.
Penggunaan kurikulum yang bervariasi dapat tetap dilakukan dengan pengurus melakukan koordinasi dengan
organisasi guru agama, perguruan tinggi, atau pemerintah untuk mendapatkan
informasi tentang kurikulum.
Peran lembaga keagamaan Buddha juga
dilakukan dengan menyediakan sarana prasarana baik dalam bentuk sumber daya
manusia yaitu pengajar dan pengelola, maupun sumber daya lain seperti sarana
prasarana pembelajaran, buku, soal dan nilai, hingga pembiayaan berupa
transportasi bagi para pengajar. Sarana prasarana yang diberikan oleh lembaga
keagamaan Buddha adalah ruang kelas
minimal satu ruangan tersedia untuk semua peserta didik; sarana pembelajaran
seperti spidol, papan tulis, dan buku
pelajaran minimal untuk guru; pengajar berlatar belakang sarjana, mahasiswa,
lulusan SMA, hingga yang masih berlatar belakang SMA dan SMP. Pengajar
Pendidikan Agama Buddha pada beberapa wihara dan cetiya
memperoleh transportasi terutama bagi pengajar yang bukan merupakan umat atau
pengurus wihara dan cetiya setempat, tetapi terutama pengajar yang memiliki
latar belakang pendidikan sarjana agama Buddha. Transportasi yang diberikan
antara Rp200.000,00 hingga Rp300.000,00 per bulan. Sumber dana biaya
transportasi maupun penyelenggaraan kegiatan masing-masing wihara atau cetiya
bersumber dari iuran tetap peserta didik, dana paramita atau amal dari umat,
maupun donatur. Dana paramita dan bantuan donatur ini juga menjadi sumber bagi
wihara dan cetiya dalam menyediakan sarana prasarana pembelajaran.
Dari aspek sarana prasarana, standar
minimal sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan jelas tidak terpenuhi akan
tetapi wihara dan cetiya telah berupaya menyedikan ruangan untuk berlangsungnya
pembelajaran. Wihara atau cetiya yang memiliki banyak ruang tentu tidak
mengalami kesulitan dalam menyediakan ruang belajar, tetapi apabila dengan
jumlah kelas seperti pada sekolah formal untuk masing-masing jenjang tentu
membutuhkan banyak kelas. Oleh karena itu pembelajaran dilakukan dengan membuat
kelompok belajar yang terdiri dari beberapa siswa dari beberapa kelas untuk
mengatasi kebutuhan ruang belajar, meskipun terdapat wihara atau cetiya yang
melakukan pembelajaran dalam kelompok-kelompok dalam satu ruangan.
Aksi pengajar intensive class,
dhammaclass, maupun Sekolah Minggu Buddha dalam menjalankan perannya sehingga
dapat memberikan hasil maksimal dalam bentuk hasil belajar maupun mutu layanan
diketahui dari pengelolaan pembelajaran oleh masing-masing pengajar.
Pengelolaan yang dilakukan pengajar mencakup pengelolaan dalam perencanaan,
peserta didik, kelas, materi pembelajaran, metode, dan penilaian yang mencakup
soal dan nilai. Pengajar berperan terhadap sukses tidaknya pelayanan Pendidikan
Agama Buddha yang diselenggarakan oleh lembaga keagamaan Buddha. Hal ini dapat
diketahui dari sejauhmana pengajar mampu mengelola peserta didik, mengelola
pembelajaran, hingga mengelola penilaian. Dari delapan subjek penelitian
terdapat kesamaan karakteristik pengelolaan peserta didik oleh para pengajarnya
dengan membentuk kelompok belajar.
Peserta didik yang berasal dari beberapa kelas dijadikan satu kelompok, baik
dalam kelompok besar maupun kelompok- kelompok kecil.
Pengelompokan peserta didik dan
pembelajaran dalam ruangan besar untuk masing-masing kelompok berdampak positif
maupun negatif bagi pengajar dan peserta didik sendiri. Bagi pengajar, dalam
menyampaikan materi bagi kelompok-kelompok belajar membutuhkan tenaga dan waktu
ekstra apabila masing- masing kelas diberikan materi secara berbeda. Demikian
juga bagi pengajar yang menyampaikan materi dari satu kelas untuk seluruh kelas
dalam satu kelompok, juga membutuhkan tenaga dan waktu untuk memilih materi
yang tepat dan dapat diterapkan untuk semua kelas dengan usia dan perkembangan
berbeda. Namun demikian, dengan pertimbangan
keterbatasan waktu pembelajaran,
keterbatasan ruang, pengajar, dan jumlah peserta didik yang relatif sedaikit,
maka pengelompokan tersebut dapat dilakukan. Jika pun jumlah pengajar memadai
untuk mengajar masing-masing kelas, maka lembaga keagamaan akan mengadapi
kendala dalam penyediaan ruang, sarana prasarana, serta penyediaan biaya
transportasi bagi pengajarnya.
Pengajar pada masing-masing wihara dan
cetiya dan/atau kelompok belajar melakukan pengelolaan materi pembelajaran
secara berbeda-beda meskipun dalam satu wihara atau cetiya. Materi pembelajaran
ditentukan pengajar SD kelas besar, kelas SMP dan SMA Vihara Siripada dengan
menyesuaikan masing- masing kelas peserta didik dalam satu kelompok, dengan
materi disampaikan secara bergantian dalam satu pertemuan. Pengajar lain pada
kelompok SD kelas kecil Vihara Siripada, Vihara Karunajala, Cetiya Mulya
Dharrma, dan Cetiya Dhamma Dvipa memilih penyampaian materi pembelajaran dengan
memilih materi dari salah satu kelas kemudian dilakukan penggantian materi pada
tahun, semester, bulan, atau pertemuan minggu berikutnya dengan memilih materi
penting. Pengajar pada kelompok Vihara Brahmavihara dan Vihara Dharma Bhakti
memilih materi sesuai dengan ketentuan wihara dengan menggunakan kurikulum yang
dikembangkan oleh wihara tersebut. Berbeda dengan wihara-wihara lain, Vihara
Atthanaga Vimutti dan Cetiya Kusala Cetana menggunakan materi keagamaan dalam
kegiatan Sekolah Minggu
Buddha dan puja bhakti remaja, meskipun sebagian peserta
didik membutuhkan nilai untuk sekolah formal.
Lima wihara dan dua cetiya di
Kabupaten Tangerang, serta dua wihara di Kota Tangerang Selatan objek
penelitian ini memiliki peran dalam memberikan pelayanan Pendidikan Agama
Buddha. Pengurus lembaga keagamaan wihara atau cetiya yang memiliki peran
memberikan pelayanan Pendidikan Agama
Buddha adalah pengurus Sekolah Minggu, pengurus puja bhakti, organisasi pemuda,
koordinator Sekolah Minggu Buddha dan dhammaclass, koordinator bidang
pendidikan dan Sekolah Minggu Buddha, atau oleh koordinator pendidikan.
Pengajar mengajar pada jenjang PAUD, SD, SMP, dan SMA dengan latar belakang
bervarian antara pelajar SMP, pelajar SMA, mahasiswa, hingga sarjana umum
maupun sarjana agama.
Aksi yang dilakukan lembaga keagamaan
Buddha dalam perannya terhadap Pendidikan Agama Buddha adalah dengan memberikan
layanan melalui program dan kegiatan seperti intensive class, dhammaclass,
Sekolah Minggu Buddha, Sekolah Minggu Buddha dan puja bhakti remaja, Sekolah
Minggu Buddha dan dhammaclass, atau dhammaclass sebagai bagian dari Sekolah
Minggu Buddha. Melalui program tersebut proses perencanaan dari segi kurikulum,
pengajar, sarana prasarana, pembiayaan, pelaksanaan pembelajaran, dan penilaian
pembelajaran telah dilakukan meskipun bervariasi dan tidak diterapkan layaknya
pada sekolah formal.
Dengan berbagai keterbatasannya peran
lembaga keagamaan Buddha telah membantu pemerintah dalam mengatasi layanan
Pendidikan Agama Buddha yang belum diperoleh peserta didik di wilayah Kabupaten
Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Lembaga keagamaan Buddha dengan salah
satu programnya yaitu Sekolah Minggu Buddha telah menjalankan fungsinya sebagai
pelengkap atau sebagai bagian dari pendidikan agama pada satuan pendidikan
formal. Pihak yang berperan dalam
pelayanan Pendidikan Agama Buddha terdiri dari dua kelompok pemeran yaitu
pengurus wihara atau cetiya dan pengajar progam atau kegiatan layanan. Pengurus
wihara dimaksud adalah pengurus Sekolah Minggu Buddha, pengurus puja bhakti,
organisasi pemuda, koordinator Sekolah Minggu Buddha dan dhammaclass,
koordinator bidang pendidikan dan Sekolah Minggu Buddha, maupun koordinator
bidang pendidikan.
Kendala dalam Memberikan Pelayanan
Pendidikan Agama Buddha
Meskipun lembaga keagamaan Buddha
telah memiliki peran dalam memberikan pelayanan Pendidikan Agama Buddha tetapi
terdapat lembaga keagamaan yang belum menjalankan perannya secara maksimal. Hal
tersebut dikarenakan kurangya pemahaman beberapa lembaga keagamaan Buddha terhadap
peran yang harusnya dilakukan sesuai kebutuhan peserta didik tidak mendapat
layanan Pendidikan Agama Buddha formal. Faktor lainnya adalah keterbatasan
sumber daya manusia pada lembaga tersebut. Dalam proses menjalankan perannya,
lembaga keagamaan Buddha menghadapi kendala secara internal dan eksternal yang
perlu menjadi perhatian dari berbagai pihak baik pengurus lembaga keagamaan
sendiri, peserta didik dan/atau orangtua, praktisi pendidikan, lembaga
keagamaan Buddha lain, lembaga pendidikan, dan pemerintah untuk mendukung
keberlangsungan layanan Pendidikan Agama Buddha.
Kendala dari peserta didik secara umum
adalah tidak datang ketika ujian, jarang mengikuti pembelajaran, atau datang
hanya untuk meminta soal ujian. Kendala lainnya terkait dengan kemampuan dan
perilaku peserta didik yang memiliki
nilai kurang, belum membaca dan/atau menulis, sulit diatur dalam
pembelajaran dan ketidakdisiplinan peseta didik dalam mengikuti kegiatan.
Kendala secara umum yang terjadi adalah terbatasnya sarana dan prasarana baik
buku, ruangan maupun media pembelajaran, serta sumber daya manusia yaitu
pengajar. Ketersediaan pengajar belum sepenuhnya sesuai dengan standar dan
harapan karena belum memiliki kualifikasi dan kompetensi minimal serta jumlah
pengajar yang minim. Hal ini dimungkinkan karena akses untuk memperoleh
pengajar yang memenuhi standar minimal, faktor pembiayaan, maupun faktor
kurangnya pemahaman pengelola terhadap standar minimal pengajar Pendidikan
Agama Buddha.
Kompetensi pengajar dan kualifikasi
pengajar yang berlatar belakang pendidikan SMA menghadapi kendala dalam mencari
materi, membuat soal, dan membagi tugas dengan teman sejawat. Kendala juga
dihadapi oleh pengajar dalam pelaksanaan layanan dengan harus mengikuti
perubahan kurikulum; komplain orang tua terkait nilai yang kecil yang diperoleh
pesera didik; serta kurangnya dukungan sekolah, orangtua, dan pengurus lembaga.
Selain kendala sumber daya manusia, pengajar juga menghadapi kendala suasana
kelas yang bising, keterbatasan biaya dan perilaku peserta didik.
Pengurus lembaga keagamaan Buddha dan
pengajar memiliki harapan bagi berbagai pihak seperti sekolah, lembaga
keagamaan Buddha sendiri, orangtua, pengajar, dan pemerintah. Terhadap sekolah
harapan dari pengajar adalah agar memfasilitasi layanan. Harapan ini terkait
dengan hak peserta didik dan amanat Undang-Undang Nomor 20 Taun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional bahwa peserta didik berhak memeroleh pelajaran agama
sesuai agama dan dari guru seagama yang wajib dipenuhi sekolah dengan memberikan
layanan di sekolah. Hal inipun dapat dilakukan apabila jumlah peserta didik
beragama Buddha memenuhi syarat sebagaimana tertuang pada Peraturan Menteri
Agama Nomor 16 Taun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah,
yaitu bahwa minimal 15 orang. Hal ini dapat dilakukan oleh SD Cilenggang I dan
SD Cilenggang II yang memiliki peserta didik beragama Buddha
dengan jumlah satu sekolah lebih dari 15 orang.
Harapan pengajar terhadap lembaga
keagamaan Buddha adalah agar menambah fasilitas layanan, sarana prasarana,
pemisahan ruang, penyediaan buku pelajaran, dan didik. Harapan pengajar dan
pengurus lembaga keagamaan juga
ditujukan kepada orangtua agar memiliki kepedulian terhadap pendidikan
agama anak terkait dengan moral dan budi pekerti anak. Harapan terhadap
pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Dinas
Pendidikan serta Kementerian Agama terutama Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Buddha dan/atau Pembimbing Masyarakat Buddha pada Kantor Wilayah
masing-masing provinsi agar turun tangan membantu menyelesaikan masalah layanan
Pendidikan Agama Buddha yang belum diperoleh di sekolah oleh sebagaian besar
peserta didik di Kabupaten Tangerang atau Kota Tangerang Selatan. Dukungan yang
diharapkan dari pengurus lembaga keagamaan Buddha dan pengajar terutama dari
Pembimbing Masyarakat Buddha adalah adanya perhatian terhadap layanan, siswa,
dan lembaga keagamaan dalam menyelenggarakan layanan Pendidikan Agama Buddha
bagi peserta didik yang tidak mendapatkan pelajaran agama di sekolah. Harapan
pengurus dan pengajar adalah agar Pembimbing Masyarakat Buddha turun ke
lapangan atau ke wihara dan cetiya untuk melihat kondisi penyelenggaraan
layanan dan melihat masalah yang dihadapi peserta didik kemudian memberikan
dukungan dan solusi.
Baca juga : Ikatan Perantau Buddhis Bagikan Sembako dan Penghargaan Para Tokoh
SIMPULAN
Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa
peran lembaga keagamaan Buddha di Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang
Selatan dalam memberikan pelayanan Pendidikan Agama Buddha dilakukan melalui
program intensive class, dhammaclass, Sekolah Minggu Buddha, Sekolah Minggu
Buddha dan puja bhakti remaja, Sekolah Minggu Buddha dan dhammaclass, serta
dhammaclass sebagai bagian dari Sekolah Minggu Buddha. Peran
pengurus yaitu dengan: memberikan pelayanan pendidikan, menyedikan
kurikulum Pendidikan Agama Buddha Formal (Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013),
atau kurikulum yang dikembangkan
sendiri, menyediakan sarana dan prasarana: ruang kelas, sarana mengajar, buku
pelajaran, transport pengajar; menyedikan pengajar berkualifikasi: S1 agama, S1
ekonomi, S1 PAUD, mahasiswa, SMP dan SMA; menyediakan soal dan nilai; serta
mengelola pembiayaan. Peran pengajar dilakukan dengan: membuat perencanaan
pembelajaran dan pengelolaan pembelajaran yang mencakup pengelolaan peserta
didik, kelas, materi pembelajaran, metode pembelajaran, soal; dan penilaian
pembelajaran.
Kendala lembaga keagamaan Buddha di
Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan dalam memberikan pelayanan
Pendidikan Agama Buddha terkait peserta didik, sarana prasarana, pengajar, dan
pelaksanaan layanan. Kendala peserta didik adalah tidak datang mengikuti ujian,
jarang mengikuti pembelajaran, datang hanya meminta soal ujuan, nilai kurang,
belum bisa membaca dan menulis, sulit diatur, dan adanya kecurangan atau
ketidakdisiplinan peserta didik. Kendala aspek sarana prasarana adalah
keterbatasan buku pelajaran, ruangan, dan media pembelajaran. Kendala aspek
pengajar adalah sebagian kualifikasi, kompetensi, dan kuantitas pengajar belum
memenuhi standar; belum menguasai materi, mengajar peserta didik berusia
setara; sulit mencari materi dan membuat soal; dan kesulitan dalam membagi
tugas. Kendala dalam pelaksanaan yaitu tuntutan format penilaian; komplain
orangtua; suasana bising; kurangnya dukungan sekolah, orangtua, dan pengurus;
keterbatasan biaya, dan perilaku tidak bertanggung jawab peserta didik.
Baca juga : Potensi Perantau Buddhis untuk Pembinaan Umat Buddha di Kampung Halaman
SARAN
Saran peneliti kepada: (1) Pengurus lembaga keagamaan Buddha dan pengelola layanan Pendidikan Agama Buddha agar meningkatkan layanan dengan membuat sistem pendidikan dengan mengacu pada fungsi Sekolah Minggu Buddha sebagai pelengkap atau bagian pendidikan agama pada satuan pendidikan formal, serta melakukan pendekatan kepada pihak-pihak terkait agar peserta didik mendapatkan layanan yang tepat dan berkualitas; (2) Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha dan/atau Pembimbing Masyarakat Buddha Kantor Wilayah Provinsi Banten agar memberikan perhatian khusus terhadap layanan Pendidikan Agama Buddha dengan memfasilitasi atau menjembatani adanya layanan pada satuan pendidikan formal, serta dibuatnya kebijakan mekanisme penyelenggaraan layanan Pendidikan Agama Buddha pada lembaga keagamaan Buddha; (3) Dinas Provinsi Banten dan/atau Suku Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan serta Satuan Pendidikan, diharapkan dapat memfasilitasi atau menjembatani adanya layanan Pendidikan Agama Buddha pada satuan pendidikan formal, bagi peserta didik beragama Buddha yang belum memperoleh layanan sesuai dengan peraturan perundang- udangan yang berlaku; (4) STABN Sriwijaya dan/atau lembaga pendidikan lain, praktisi dan pemerhati pendidikan Buddhis, serta donatur agar memberikan perhatian dan berperan dengan memberikan bantuan baik sumber daya manusia, pembiayaan, dan sarana prasarana untuk mendukung pelayanan Pendidikan Agama Buddha dalam bentuk bantuan sumber daya manusia, meningkatkan kompetensi pengajar dan kompetensi pengurus dalam mengelola layanan, serta dukungan pembiayaan layanan Pendidikan Agama Buddha terutama di wihara dan cetiya wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Artikel hasil penelitian oleh Tim Dosen STAB Negeri Sriwijaya Tangerang ini diterbitkan di Jurnal Ilmiah "Pelita Dharma" Volume 4 Nomor 1, Juni 2018 Jurusan Dharmaduta STAB Negeri Sriwijaya Tangerang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar