PENDAHULUAN
Di
Indonesia terdapat enam agama yang sah saat ini, agama tersebut adalah Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Menurut Badan Pusat Statistik
Indonesia bahwa dari hasil sensus tahun 2010 persentase pemeluk agama di
Indonesia adalah: Islam 81,1%, Kristen 6,9%, Katolik 2,9%, Hindu 1,6%, Buddha
0,7% dan Konghucu 0,05%. Keberagaman kehidupan beragama di Indonesia pernah
mengalami berbagai konflik, termasuk agama Buddha. Ajaran Buddha telah
berkembang selama ribuan tahun, sepanjang sejarahnya agama Buddha dikenal
sebagai agama yang sedikit sekali memiliki catatan konflik atau kekerasan yang
mengatasnamakan ajaran agama, atau bahkan dapat dikatakan bahwa dalam
sejarahnya agama Buddha tidak pernah terlibat konflik hingga kekerasan yang
mengatasnamakan ajaran Buddha. Hal demikian tentulah memiliki dasar sehingga
penganut ajaran Buddha mampu mengutamakan perdamaian dalam pelaksanaan ajaran agamanya.
Jika umat Buddha dapat melihat sejarah panjang perkembangan ajaran Buddha yang
selalu mengutamakan perdamaian tentulah umat Buddha di Indonesia akan dapat
menjaga sikap agar tidak melakukan tindakan yang dapat memicu konflik umat
beragama. Umat Buddha di Indonesia secara jumlah adalah minoritas tetapi
keberadaan umat Buddha tetaplah dapat menjadi bagian dari warga negara yang
baik dan dapat berkontribusi bagi pembangunan kerukunan umat beragama di
Indonesia.
Potensi
Konflik Antarumat Beragama
Semua
ajaran agama pada dasarnya baik dan mengajak kepada kebaikan. Namun pada
kenyataanya tidak semua yang dianggap baik itu bisa bertemu dan sejalan.
Bahkan, kadang dapat terjadi pertentangan antara yang satu dengan lainnya
dengan berbagai alasan, yang paling sering karena perbedaan interpretasi ajaran
dan fanatisme berlebihan. Konflik agama pada umumnya, baik yang bersifat murni
maupun yang ditumpangi oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan
golongan banyak mewarnai perjalanan sejarah kehidupan bermasyarakat Indonesia.
Mulkan
dalam Saiman (2009: 16) menyatakan bahwa di era reformasi dan paska reformasi,
agama telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata, baik kekuatan yang
konstruktif maupun destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan
ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan.
Potensi
Konflik dari Faktor Keagamaan
Konflik
di antara umat beragama dapat disebabkan oleh faktor keagamaan dan nonkeagamaan
(Wahid, 1984: 3-9). Ajaran agama juga bisa menimbulkan disintegrasi bila
dipahami secara sempit dan kaku. Di antaranya, setiap pemeluk agama menyakini
bahwa agama yang dianutnya adalah jalan hidup yang paling benar, sehingga dapat
menimbulkan prasangka negatif atau sikap memandang rendah pemeluk agama lain sehingga
memicu konflik (Wahid, 1984: 8). Selain faktor yang terkait dengan doktrin,
terdapat faktor-faktor keagamaan lain yang secara tidak langsung dapat
menimbulkan konflik di antara umat beragama, antara lain: (a) penyiaran agama,
(b) bantuan keagamaan dari luar negeri, (c) perkawinan antar pemeluk agama yang
berbeda, (d) pengangkatan anak, (e) pendidikan agama, (f) perayaan hari besar
keagamaan, (g) perawatan dan pemakaman jenazah, (h) penodaan agama, (i)
kegiatan kelompok sempalan, (j) transparansi informasi keagamaan, dan (k)
pendirian rumat ibadat (Wahid, 1985: 31).
Mursyid
(2009: xvi) menyatakan bahwa faktor ekonomi dan politik merupakan peringkat
pertama faktor pemicu konflik dan kerusuhan. Faktor agama menduduki peringkat
kedua. Departemen Agama mendefinisikan sejumlah kegiatan keagamaan yang
dipandang rawan konflik antara lain: (a) pendirian rumah ibadah, (b) penyiaran
agama, (c) bantuan luar negeri, (d) perkawinan berbeda agama, (e) perayaan hari
besar keagamaan, (f) penodaan agama, (g) kegiatan aliran sempalan.
Potensi
Konflik dari Faktor Nonkeagamaan
Keragaman
agama ternyata menimbulkan dilema tersendiri. Di satu sisi, memberikan
kontribusi positif untuk pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama
dapat juga berpotensi menjadi sumber konflik di kemudian hari. Hal ini
tergantung pada lebih kuat yang mana di antara potensi tersebut. Konflik bisa
saja terjadi, dengan penyebabnya terkadang disebabkan adanya truth claim (klaim
kebenaran). Namun yang dominan, konflik lebih dipicu oleh unsur-unsur yang tak
berkaitan dengan ajaran agama sama sekali. Konflik sesungguhnya dipicu oleh
persoalan ekonomi, sosial dan politik, yang selanjutnya di-blow up menjadi
konflik agama.
Faktor
nonkeagamaan yang diidentifikasi sebagai penyebab ketidakrukunan umat beragama,
antara lain: (a) kesenjangan ekonomi, (b) kepentingan politik, (c) perbedaan
nilai sosial budaya, (d) kemajuan teknologi informasi dan transportasi (Hasan,
1986: 323-335). Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai
daerah di Indonesia, beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya berskala
besar dan berlangsung lama, seperti kerusuhan di Ambon (mulai 1998), Poso
(mulai 1998), Maluku Utara (2000), dan beberapa tempat lain.
Toleransi
Antarumat Beragama
Toleransi
artinya sifat atau sikap toleran. Toleran artinya bersifat atau bersikap
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb.) yang berbeda atau
bertentangan dengan pandangan sendiri. Toleransi adalah konsep modern untuk
menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerja sama di antara
kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya,
politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan konsep agung dan mulia
yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama. Sikap toleran
antara lain terwujud dalam hidup saling menghormati, tidak saling mengganggu.
Toleransi yang bukan sekadar berjalan sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu,
tetapi toleransi sebagai suatu kerja sama lintas agama.
Kerukunan
hidup beragama tidak akan lahir dari sikap fanatisme buta dan sikap tidak
peduli atas hak dan perasaan orang lain. Kerukunan hanya bisa tercapai jika
masing-masing golongan bersikap lapang dada satu sama lain (Priastana, 2000:
57). Kerukunan hidup beragama adalah suatu kondisi di mana semua golongan agama
bisa hidup bersama-sama secara damai tanpa mengurangi hak kebebasan
masing-masing untuk menganut dan melaksanakan kewajiban agamanya. Kerukunan
yang dimaksud bukan berarti penganut agama yang satu tidak merasa atau perlu
menahan diri untuk melibatkan persoalan keberagamaan dengan pihak lain, karena kebersamaan
menghendaki tenggang rasa, yang hanya benar-benar dimungkinkan jika saling
memahami (Mukti, 2003: 163).
Untuk
menghindari timbulnya konflik harus diciptakan kondisi yang mendukung bagi
kehidupan yang rukun dan harmonis. Langkah yang harus ditempuh terdiri dari dua
bagian yaitu menghindari perbuatan, ucapan, dan pikiran yang dapat menimbulkan
perselisihan. Di samping itu juga harus dilakukan upaya aktif yang terdiri dari
enam hal positif yang harus dikembangkan oleh setiap orang. Toleransi
dikembangkan menurut pandangan agama Buddha dengan kedua cara ini. Toleransi
antarumat beragama diupayakan dengan cara menghindari sikap negatif dan aktif mengembangkan
sikap positif agar tercipta kerukunan antarumat beragama.
Nilai-nilai
Toleransi dalam Perspektif Agama Buddha
Sikap
toleransi telah diteladankan oleh Buddha baik melalui tindakan maupun dalam
nasehat melalui kotbah-kotbahnya. Nilai-nilai toleransi bukan hanya diajarkan,
melainkan ditunjukkan langsung dalam sikap dan tindakannya, juga dilakukan oleh
para siswanya. Buddha adalah seorang guru yang cinta damai, dan sangat toleran terhadap
penganut kepercayaan lain. Buddha tidak pernah menggunakan kekerasan sekecil
apapun dalam membabarkan Dhamma, karena Ia hanya berdasarkan cinta kasih semata
dalam mengajar kepada siapa pun. Hal ini telah ditanamkan oleh Buddha sejak
pertama kali Ia mengutus para siswanya yaitu 60 bhikkhu arahat untuk
membabarkan Dhamma ke semua makhluk.
Dalam
kitab suci Vinaya Pitaka, Buddha memerintahkan para bhikkhu sebagai berikut:
“Walk,
monks, on tour for the blessing of the manyfolk, for the happiness of the
manyfolk out of compassion for the world, for the welfare, the blessing, the
happiness of devas and men” (Horner, 2007: 28).
Tidak Memaksa Orang Lain untuk Menjadi Pengikut
Dalam
membabarkan Dhamma, Buddha tidak bermaksud mencari pengikut ataupun mengubah
keyakinan atau cara hidup seseorang, melainkan untuk menunjukkan jalan
melenyapkan permasalahan kehidupan, hanya bertujuan membantu semua makhluk
untuk terbebas dari penderitaan. Buddha menghargai ajaran lain. Dalam
mengajarkan Dhamma, Buddha tidak memaksa siapa pun untuk mengikuti ajarannya.
Dalam kitab suci Digha Nikaya, Udumbarika-Sihanada Sutta, Buddha memberikan
nasihat kepada petapa Nigrodha yang menganut cara penyiksaan diri, sebagai berikut:
Maybe,
Nigrodha, you will think: The Samana Gotama has said this from a desire to get
pupils; but you are not thus to explain my words. Let him who is your teacher be
your teacher still. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has said this from a desire
to make us secede from our rule; but you are not thus to explain my words. Let that
which is your rule be your rule still. Nigrodha, you will think: The Samana Gotama
has said this from a desire to make us secede from our mode of livelihood; but
you are not thus to explain my words. Let that which is your mode of livelihood
be so still. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has said this from a desire to confirm
us as to such points of our doctrines as are wrong, and reckoned as wrong by those
ini our community; but you are not thus to explain my words. Let those points in
your doctrines which are wrong and reckoned as wrong by those in your community,
remain so still for you. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has said this from
a desire to detach us from such points in our doctrines as are good, reckoned
as good by those ini our community; but you are not thus to explain my words.
Let those points ini your doctrines which are good, reckoned to be good by those
in your community, remain so still (Davids, 2002: 51).
Cara
seperti ini akan menghindarkan konflik dengan para guru lain. Buddha tidak
memaksa siapa pun untuk percaya dan melaksanakan ajarannya, dan memberikan
kebebasan untuk mengabaikan nasihatnya. Buddha menekankan bahwa tujuan dari
mengajarkan Dhamma adalah membimbing siapa pun yang mempraktikkannya menuju
kebebasan dari penderitaan sepenuhnya. Meskipun Buddha dengan tegas menyatakan
bahwa Dhamma adalah kebenaran sejati, dan Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai
jalan yang benar, tetapi Ia tidak pernah memaksakan agar orang lain mempercayai
dan menjalankan ajarannya. Buddha mengajarkan Dhamma kepada siapa pun tidak
bertujuan agar mereka menjadi muridnya atau supaya meninggalkan gurunya atau
meninggalkan cara hidupnya, tetapi semata-mata supaya terbebas dari penderitaan
kelahiran, ketuaan, dan sakit. Buddha mempunyai tujuan semata-mata memberikan
kebahagiaan dan kesejahteraaan melalui Dhamma yang mereka ajarkan. Mengajarkan
Dhamma bukan supaya mendapatkan pengikut yang banyak. Sikap Buddha yang tidak
memaksakan kehendak, sebaliknya memberikan kebebasan menganut keyakinan dan
menjalankan ajaran juga terlihat dalam Pāthikasutta (Dīghanikāya). Dalam suatu kesempatan
diskusi, pengembara Bhaggavagotta, menceritakan pembicaraannya dengan seorang Licchavi
bernama Sunakkhatta.
Some
days ago, Bhaggava, a good many days ago, Sunakkhatta, the Licchavi, came to
call on me, and spake thus: „Sir, I now give up the Exalted One. I will
henceforth remain no longer under him (as my teacher).‟ When he told me this, I
said to him: „But now, Sunakkhatta, have I ever said to you: “Come,
Sunakkhatta, live under me (as my pupil)?”‟ „No, Sir, you have not.‟ „Or have
you ever said to me: “Sir, I would fain dwell under the Exalted One (as my teacher)?”‟
„No, Sir, I have not.‟ „But if I said not the one, and you said not the other,
what are you and what am I that you talk of giving up?
(Beberapa hari yang lalu, Bhaggava, beberapa hari yang lalu, Sunakkhatta, Licchavi, datang untuk memanggil saya, dan berkata demikian: Tuan, sekarang saya meninggalkan Yang Mulia. Saya tidak akan lagi berada di bawahnya (sebagai guru saya).‟ Ketika dia mengatakan ini kepada saya, saya berkata kepadanya: Tetapi sekarang, Sunakkhatta, apakah saya pernah berkata kepada Anda: “Ayo, Sunakkhatta, hiduplah di bawah saya (sebagai murid)?”‟ Tidak, Tuan, Anda belum pernah.‟ Atau apakah Anda pernah berkata kepada saya: “Tuan, saya akan dengan senang hati berdiam di bawah Yang Mulia (sebagai guru saya)?”‟ Tidak, Tuan, saya telah tidak.‟ Tetapi jika saya mengatakan bukan yang satu, dan Anda tidak mengatakan yang lain, apakah Anda dan apa saya sehingga Anda berbicara tentang menyerah?)
Menghormati Penganut Kepercayaan Lain
Dalam
kitab suci Majjhima Nikaya, Upali Sutta, dikisahkan bahwa Upali yang merupakan
seorang siswa dari guru besar aliran Jaina yaitu petapa Nigantha Nataputta,
setelah mendengarkan Dhamma dari Sang Buddha ia berniat menjadi siswa-Nya dan
berlindung kepada Buddha. Namun dengan bijaksana Buddha menyuruh Upali untuk
mempertimbangkan niatnya dengan berkata:
“Householder,
your family has long supported the Niganthas and you should consider that alms
should be given to them when they come” (Nanamoli, 2001: 484).
Buddha
menasihati Upali untuk berpikir terlebih dahulu mengingat bahwa ia adalah
seorang yang terkenal di wilayahnya. Akhirnya, meskipun diterima sebagai
upāsaka, Buddha mengingatkan dia untuk tetap memberikan sokongan kepada guru
dan orang yang dulu sudah lama disokong. Buddha mengajarkan Dhamma tidak dengan
cara mengambil siswa dari guru lain dan mencela ajarannya. Sikap toleran
seperti ini sangat penting untuk menjaga kerukunan antarumat penganut
kepercayaan. Buddha tidak berkeinginan untuk mencari umat sebanyak-banyaknya,
bahkan dengan mengambil umat kepercayaan lain.
Tidak
Bersikap Arogan Seolah Paling Benar
Buddha
mengajarkan kebenaran sejati atau kebenaran mutlak yaitu Dhamma. Namun demikian
Buddha menyatakan terdapat dua jenis kebahagiaan yang dapat dicapai manusia
yaitu kebahagiaan duniawi (lokiya) dan kebahagiaan sejati (lokuttara). Untuk
mencapai kebahagiaan sejati harus melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan
yang diajarkan oleh Buddha. Kebahagiaan duniawi termasuk kebahagiaan di alam
surga dapat dicapai dengan melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan
jahat. Kebahagiaan duniawi dapat dicapai oleh siapa pun tidak dimonopoli oleh umat
Buddha. Hal ini dapat dilihat dari khotbah Buddha dalam Assalāyana Sutta
(Majjhimanikāya). Pandangan seperti ini akan sangat berperan dalam menumbuhkan
rasa toleransi antarpenganut pandangan atau kepercayaan yang berbeda. Tidak ada
yang merasa paling benar dan paling suci sehingga tidak merendahkan penganut
agama lain. Ketika berbicara dengan penganut kepercayaan lain, Buddha mendengarkan
ajaran lain untuk dijadikan bahan diskusi dan tidak jarang. juga menyetujui
pendapat penganut ajaran lain. Ia akan mengatakan ajaran lain dengan apa
adanya, baik sebagai baik, tercela sebagai tercela. Saat melakukan percakapan
dengan seseorang atau kelompok tertentu, Buddha tidak pernah menolak apapun hal
yang memang berisi kebenaran walaupun hal tersebut diungkapkan oleh orang atau
kelompok kepercayaan lain. Sikap ini menunjukkan kebesaran hati dan sikap
keterbukaan untuk mengakui sesuatu yang benar sebagai benar tanpa
membeda-bedakan dari mana kebenaran itu berasal.
Bersedia
Berdiskusi dengan Penganut Kepercayaan Lain
Sikap
toleransi Buddha dan para siswa ditunjukkan dengan seringnya kunjungan Buddha
atau para siswa ke pertapaan dari para penganut ajaran lain. Hal ini
menunjukkan sikap yang inklusif yang dikembangkan oleh Buddha. Buddha melakukan
kunjungan untuk berdiskusi mengenai ajaran. Kunjungan ke para petapa lain juga
dilakukan oleh para siswa Buddha. Buddha pun tidak luput dari berbagai
perdebatan yang harus dihadapi dari para petapa dan penganut pandangan lain,
baik dalam usahanya untuk mengajarkan Dhamma maupun karena didebat oleh petapa
lain yang mengemukakan pendapatnya. Namun dalam perdebatan itu tujuan-Nya bukan
untuk memenangkan perdebatan melainkan berusaha agar lawan bicara memahami dan
menerima kebenaran Dhamma. Sikap keterbukaan ditunjukkan Buddha terhadap para
penganut kepercayaan lain yang ingin bertemu, bahkan tidak jarang mereka yang datang
dengan tujuan untuk berdebat. Cūlasaccakasutta (Majjhimanikāya) mengisahkan
Buddha dengan terbuka menerima kunjungan Saccaka yang ingin berdebat dengannya.
Kisah Upāli dalam Upālisutta (Majjhimanikāya) menunjukkan keterbukaan Buddha
dalam menerima seseorang yang datang yang dalam hal ini perumahtangga untuk
berdebat dengannya. Dalam Dhammacetiyasutta (Majjhimanikāya) dikisahkan para
pertapa, brahmana, ksatria yang datang kepadanya dan berupaya memberikan argumen terhadap ajaran Buddha. Aggivacchasutta (Majjhimanikāya) mengisahkan kunjungan
pengembara Aggivaccha kepada Buddha untuk bertanya tentang sepuluh pertanyaan
avyākatha. Buddha melakukan semua diskusi dan debat dengan damai tanpa emosi.
Tidak
Membenci Penentang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha
Buddha
telah bebas dari kemarahan dan kebencian, tetapi ia menyadari bahwa tidak
demikian dengan para siswanya. Maka ia melindungi para siswanya dari tindakan
yang merugikan dengan menganjurkannya untuk tidak marah kepada mereka yang
melecehkan dan menghujat Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Dalam Brāhmajālasutta
(Dīgha Nikāya), Buddha menasihati para muridnya agar tidak menaruh kebencian
atau kemarahan apabila Buddha, Dhamma, dan Sangha dihujat. Alasannya, saat
marah, seseorang tidak mengetahui apakah ucapan orang lain itu baik atau tidak baik.
Namun demikian, meskipun kemarahan tidak dimunculkan, bukan berarti umat Buddha
tinggal diam saat Buddha, Dhamma, dan Sangha dilecehkan maupun dihujat. Siswa
Buddha harus memberikan penjelasan mana yang benar dan tidak benar terkait
hujatan yang diberikan kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Konflik yang banyak
terjadi pada saat ini sering terjadi karena sikap egois. Salah satu penyebab
yang paling umum adalah pertentangan pandangan, menganggap ajaran agamanya
paling benar dan memandang ajaran agama lain salah. Pandangan ini kemudian
berlanjut kepada tindakan saling mengejek. Cara dalam menghadapi sikap tidak
baik dari umat lain, Buddha menasihatkan prinsip keseimbangan batin. Siswa
Buddha dianjurkan untuk tetap seimbang menghadapi pujian maupun celaan kepada
Tiratana, tidak marah, namun dengan tenang mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh
pencela tersebut adalah tidak benar.
Brethren,
if outsiders should speak against me, or against the Doctrine, or against the
Order, you should not on that account either bear malice, or suffer
heartburning, or feel illwill. If you, on that account, should be angry and
hurt, that would stand in the way of your own self-conquest. If, when others speak
against us, you feel angry at that, and displeased, would you then be able to
judge how far that speech of theirs is well said or ill? But when outsiders
speak in dispraise of me, or of the Doctrine, or of the Order, you should
unravel what is false and point it out as wrong, saying: “For this or the
reason this is not the fact, that is not so, such a thing is not found among
us, is not in us”. But also, brethren, if outsiders should speak in praise of
me, in praise of the Doctrine, in praise of the Order, you should not, on that
account, be filled with pleasure or gladness, or be lifted up in heart. Were
you to be so that also would stand in the way of your self-conquest. When
outsiders speak in praise of me, or of the Doctrine, or of the Order, you
should acknowledge what is right to be the fact, saying: “For this or that
reason this is the fact, that is so, such a thing is found among us, is in us” (Muller,
2002: 3).
Selanjutnya
dalam Mahāsaccakasutta (Majjhimanikāya) diketahui bahwa Buddha tidak marah
ketika ajarannya dihujat atau dikritik. Saccaka, seorang penganut Jaina, kagum
kepada Buddha karena saat ajarannya dihujat, justru raut wajah dan tubuh Buddha
bertambah cerah. Ia membandingkan para guru spiritual lain seperti misalnya
Purana Kassapa yang ketika ajarannya dikritik ia menunjukkan kemarahan,
kebencian, dan ketidaksukaan.
Upaya
Aktif Mengembangkan Sikap Toleransi
Dalam
kitab Digha Nikaya, Sangiti Sutta, dijelaskan mengenai Saraniya Dhamma, di mana
Buddha mengajak siswa-Nya untuk saling mengingat, saling menolong, saling
menghormat, dan menghindari percekcokan sehingga dapat menimbulkan persatuan
dan kesatuan.
Six
occasions of fraternal living, herein, friends, when a brother‟s kindly act
towards his fellow-disciples has been attested as wrought publicly and in
private, that is an occasion of fraternity, causing affection an regard, and
conducing to concord, absence of strife, harmony, union. The second and third
occasions are those of kindly speech and kind thoughts. In the next place, when
a brother who has honestly and righteously obtained gifts, distributes these
impartially among his fellow-disciples, and has everything in common with them,
even to the contents of this alms-bowl, that is an occasion of fraternity, etc.
Next, when the character and moral habits of a brother are without rupture or
flaw, are consistently practised, unblemished, making a man free, commended by
the wise, unperverted, and condusing to rapt concentration, and he, so
virtuous, dwells openly and privately among his fellowdisciples, that is an
occasion of fraternity, causing affection and regard, and conducing to concord,
absence of strife, harmony, union. Lastly, when a brother lives with his
religious life (guided by) tha Ariyan, safe-guiding belief, which leads him who
so lives to the perfect destruction of sorrow, when he thus equiped lives among
his fellow-disciples publicly and in private, that is an occasion of
fraternity... like the foregoing (Davids, 2002: 231).
Enam
hal yang harus diingat dan dikembangkan untuk mendukung kerukunan dan kehidupan
bersama yaitu dengan mengembangkan: (1) cinta kasih dalam perbuatan jasmani
(metta kaya-kamma), (2) cinta kasih dalam ucapan (metta vaci-kamma), (3) cinta
kasih dalam pikiran (metta mano-kamma), (4) kemoralan (sila), (5) kemurahan
hati (caga), dan (6) kebijaksanaan (pabba).
Dhamma
di atas bila dikembangkan secara utuh akan menghasilkan suasana kedamaian,
keharmonisan, ketenteraman dan terbebas dari konflik, tetapi akan menjadi
sebaliknya jika selalu menonjolkan perbedaan suku, agama, ras, warna kulit, dan
perbedaan yang lainnya maka benih-benih perselisihan akan muncul.
Perselisihan
umat beragama sering terjadi karena ego baik dari para pemimpin agama maupun
pemimpin pemerintahan, ketika para pemimpin tersebut lebih mengutamakan
kepentingan pribadi atau golongan. Terlebih lagi ketika ia menyalahgunakan agama
ataupun politik untuk melancarkan pemenuhan kepentingan pribadi dan golongan.
Untuk mengatasi hal itu, para pemuka agama maupun pemerintahan harus memiliki
kebijaksanaan sebagai seorang pemimpin.
Dalam
Nandiyamigga Jataka, Sang Buddha menjelaskan pedoman bagi seorang pemimpin yang
terdiri dari sepuluh kriteria disebut Dasa Raja Dhamma‟ yaitu memiliki: (1)
kemurahan hati (dana), (2) kekuatanmoral tinggi (sila), (3) bersedia berkorban
(pariccaga), (4) ketulusan hati dan kejujuran (ajjava), (5) baik hati dan ramah
tamah (maddawa), (6) sederhana hidupnya (tapa), (7) cinta damai (akhoda), (8)
tanpa kekerasan (ahimsa), (9) kesabaran (khanti), (10) tidak bertentangan
dengan kebenaran (aviroda) (Panjika, 1994: 283).
KESIMPULAN
Kitab Suci Tipitaka mengandung ajaran nilai-nilai toleransi, yang tercermin dalam berbagai nasihat, tindakan, dan sikap Buddha beserta para siswanya yang mengembangkan toleransi dalam menjalin hubungan sosial. Dalam menyebarkan ajarannya, Buddha juga menghadapi berbagai potensi konflik dengan penganut kepercayaan lain. Tidak dapat dikatakan bahwa Buddha selalu berhasil menanamkan ajaran kepada setiap orang yang diajarnya, tetapi ia berhasil dalam menghindari konflik dengan pihak-pihak yang tidak sepaham. Hal itu dimungkinkan karena Buddha mengembangkan sikap toleransi dalam wujud antara lain tidak memaksa orang lain untuk menjadi pengikut, menghormati penganut kepercayaan lain, tidak bersikap arogan seolah paling benar, dan bersedia berdiskusi dengan penganut kepercayaan lain, serta tidak membenci penentang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Buddha mampu menghindari timbulnya konflik. Mengembangkan sikap toleransi dilakukan dengan dua aspek yang harus ditempuh, pertama menghindari perbuatan, ucapan, dan pikiran yang dapat menimbulkan perselisihan. Selanjutnya dilakukan upaya aktif yang terdiri dari enam hal positif yang harus dikembangkan.
Baca juga Respon Mahasiswa Buddhis terhadap Situasi Intoleransi Antarumat Beragama
Informasi yg sangat bermanfaat untuk mengatasi permasalahan pd zaman sekarang
BalasHapusSemoga demikian. Terima kasih
Hapus