Dari 18 nama calon hakim agung yang mengikuti seleksi wawancara terbuka,
nama Eddhi Sutarto cukup membuat Komisi Yudisial (KY) terpikat. Hal ini terkait
keyakinannya sebagai penganut agama Buddha tetapi mengidolakan tokoh muslim
Umar bin Khattab.
“Bapak menuliskan pendeta, kenapa rambut Bapak tidak gundul?” tanya
pimpinan KY Eman Suparman dalam wawancara seleksi hakim agung di Gedung KY,
Jalan Kramat Raya, Jakarta, Senin (25/5/2015).
“Saya mulai menganut Buddha pada 1982. Di Buddha itu ada tingkatannya.
Menjadi pendeta tidak harus digundul plontos tetapi mengikuti aturan dan
pantangannya,” jawab Eddhi yang sehari-hari sebagai PNS Kementerian Keuangan
itu. Mungkin yang dimaksud adalah Pandita atau Romo.
“Tapi di sini Anda juga menuliskan kata mutiara dari khalifah Umar bin Khattab
yaitu lebih baik mengedapankan kebaikan dibandingkan kebatilan. Kok bisa?”
tanya Eman masih penasaran.
“Saya sejak kecil mengaji, dan saya tidak ada keluarga Buddha. Anak saya
banyak yang Islam. Umar adalah figur panutan saya. Bukankah Islam artinya selamat?
Barangsiapa masuk Islam, maka akan diselamatkan,” jawab Eddhi yang berdinas di
Ditjen Bea dan Cukai itu.
Ia mengaku menjalani hidup mengalir tanpa obsesi. Doktor hukum itu juga
tidak tahu mengapa dirinya bisa sampai ke tahap wawancara terbuka di KY.
“Ini seperti mimpi, berangan-angan saja tidak pernah,” ujar Eddhi yang lama
bertugas di Jawa Tengah itu.
Jika menjadi hakim agung, ia akan mengamalkan ajaran Buddha dalam
menjalankan tugas. Baginya, menjadi hakim agung bukan untuk jabatan tetapi
mencari tabungan untuk kehidupan setelah mati.
“Kalau keadilan masih di bumi, naikkanlah. Kalau keadilan masih di langit,
turunkanlah. Kalau keadilan masih gelap, terangkanlah,” kata Eddhi menuturkan
permohonan dalam setiap doanya.
Eddhi menjadi PNS di Kemenkeu sejak tahun 1977. Sebagai PNS di Kemenkeu,
ia telah mengantongi NPWP sejak tahun 1982. Ia mulai mempersiapkan masa pensiun
dengan menjadi Pandita, belajar mendalang dan mengajar di pascasarjana UI, UKI
dan beberapa kampus swasta lain
Serial artikel "In Memoriam Sutar Soemitro The Founder of BuddhaZine"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar