Buddha membabarkan Dhamma lebih
dari 40 tahun yang kemudian dikumpulkan menjadi Tipitaka. Isinya sangat luas,
terdiri dari 45 jilid buku yang sangat tebal. Bahkan dalam Tipitaka Chanting
yang digelar selama dua hari di Candi Borobudur, Magelang tanggal 25-26 Juli
hanya berhasil menyelasaikan dua sutta, yaitu Brahmajala Sutta dan Samannaphala
Sutta.
“Kalau Tipitaka semua dibacakan,
kapan akan katam? Katam itu tamat. Mungkin 30 tahun belum tamat,” ujar Bhikkhu
Sri Pannyavaro dalam uraian Dhamma saat Asadha Agung usai Tipitaka Chanting di
pelataran barat Candi Borobudur, pada Minggu (26/7/2015). Namun Dhamma yang
sedemikian luas tersebut diringkas dalam sebuah kata kunci, seperti yang Buddha
katakan kepada Bhikkhu Anuraddha.
“Wahai Anuraddha, dahulu dan
sekarang hanya ini yang Ku ajarkan. Apakah itu? Penderitaan dan lenyapnya
penderitaan,” Bhante Pannyavaro mengutip ucapan Buddha kepada Bhikkhu
Anuraddha. Kata kuncinya adalah penderitaan dan lenyapnya penderitaan. Inilah
yang menggerakkan kita untuk menjalankan Dhamma.
Bhante Pannyavaro menambahkan, penderitaan adalah masalah semua orang, bukan hanya umat Buddha. Membicarakan tentang penderitaan adalah uraian yang sangat menarik, tapi lenyapnya penderitaan lebih menarik dan lebih perlu. Bhante Pannyavaro mengutip kata-kata Dalai Lama yang mengatakan tak ada seorang pun yang ingin menderita, itulah yang mempersatukan semua orang. Karena setiap orang tidak ada yang ingin menderita, apa pun agamanya, apa pun suku bangsanya. Karena menolak penderitaa itulah, semua orang mencari kebahagiaan. Tetapi yang sering terjadi adalah kita mencari kebahagiaan untuk menutup-nutupi penderitaan, bukan untuk melenyapkan penderitaan. Memang benar akan senang, tetapi cuma sebentar. Penderitaan akan muncul lagi. Apalagi jika kesenangan itu dicari dengan cara kebablasan, justru akan menimbulkan penderitaan baru.
“Hawa nafsu selalu muncul sangat menarik. Dan kalau kita terpikat, kita menjadi puas, menjadi senang, tapi cuma sebentar. Kemudian penderitaan bertambah,” jelas Bhante.
“Guru Agung kita meminta kita untuk
mengubah cara berpikir, jangan menutupi penderitaan dengan kesenangan, tetapi
selesaikan penderitaan dengan mencari sebabnya, mencabut akarnya. Akar
penderitaan adalah (1) keserakahan dengan segala turunannya: iri hati,
tidak senang melihat orang lain maju, keserakahan, dan lain-lain; (2)
kebencian: senang melihat orang lain sengsara, dendam, jengkel, marah; dan (3)
arogansi keakuan.”
“Jika keserakahan, kebencian dan
arogansi keakuan ini dikurangi, meskipun penderitaan belum habis, kalau
penderitaan berkurang, sudah otomatis kita akan bahagia,” lanjut Bhante.
“Sebenarnya Guru Agung kita tidak mengajarkan kita untuk mengejar kebahagiaan, mencari kebahagiaan, tetapi kurangilah penderitaan. Kalau penderitaan berkurang, meskipun belum habis, kita akan lebih bahagia. Akar penderitaan itulah yang harus dicabut, bukan ditutupi. Bagaimana caranya? Jangan membunuh meskipun binatang, tapi kembangkan cinta kasih. Jangan mencuri yang bukan haknya, tapi bisa berdana. Jangan selingkuh, tapi membangun kehidupan rumah tangga yang baik. Jangan berbohong, tapi mengucapkan kata-kata yang enak, benar, dan tidak nyelekit (menyakiti). Tidak hanya tidak mabuk, tapi memilih makanan yang sehat dan bermeditasi. Itu adalah pengendalian diri, sila. Jika sudah mengendalikan diri, tetapi sudah bebaskah kita dari penderitaan? Belum.”
“Meskipun kita hati-hati tidak
melakukan kejahatan, mengendalikan diri, menambah kebaikan, kita tetap menjadi
tua, sakit, meninggal dunia,” jelas Bhante. “Orang baik dan orang jahat tetap
akan mengalaminya. Ini adalah problem besar umat manusia, dari raja sampai
orang biasa.”
“Oleh karena itu bermeditasi,”
Bhante menyarankan. Meditasi akan membuat pikiran kita jernih, juga akan
mendeteksi jika keserakahan atau keakuan muncul sehingga perilaku kita baik.
“Kalau sibuk mengendalikan ucapan dan perbuatan, tapi tidak pernah meditasi, saudara akan gagal terus. Karena sumber perilaku yang buruk itu dari pikiran. Kalau pikiran kotor, air yang mengalir akan kotor. Kalau pikiran bersih, ucapan dan perbuatan yang mengalir akan bersih. Bermeditasilah untuk membersihkan pikiran,” Bhante kembali menyarankan.
Bhante bercerita, di dalam banyak
retret meditasi, umat agama lain ikut bermeditasi, sudahkah umat Buddha
bermeditasi setiap hari? Selain duduk diam, tetapi juga sadar setiap saat. Jika
kita mempunyai praktek Dhamma yang baik, Bhante melanjutkan, keakuan kita akan
berkurang dan menjadi tenang,
“(Menghadapi) kematian tidak
gentar. Kematian, usia tua? Rapopo.” Rapopo = tidak apa-apa, sebuah ungkapan
menerima dengan tulus dan lapang dada. Kita tidak mungkin bisa mengatakan ‘ora
gelem’ (tidak mau/ menolak) kepada usia tua dan kematian. Dengan pikiran yang
bersih, dengan mendeteksi keserakahan, kebencian-keakuan, dengan melihat
perubahan sebagaimana adanya, termasuk usia tua dan kematian, semuanya itu
hanyalah perubahan. Anicca tidak perlu membuat kita menderita. Tidak ada
seorang pun yang bisa menghentikan perubahan, termasuk Guru Agung kita. Tetapi
Guru Agung kita memberikan cara menghentikan penderitaan.”
“Itulah kata kunci ajaran Guru Agung kita, bebas dari penderitaan,” jelas Bhante. “Kita tidak bisa merevolusi mental orang lain, orang lain juga tidak bisa mengubah mental kita. Kita sendiri yang harus berjuang mengubah mental kita menjadi lebih sehat dan dewasa, dengan sila dan meditasi. Tidak ada cara lain, apalagi menggantungkan diri pada batu akik,” tegas Bhante yang disambut tawa hadirin.
“Oleh karena itu marilah kita
praktek Dhamma. Sangat bermanfaat bagi kehidupan kita. Seandainya kita belum
bisa membebaskan diri dari penderitaan, kita bisa mengurangi penderitaan.
Kurangnya penderitaan itu sudah tentu kebahagiaan. Tidak usah dicari,
kebahagiaan akan datang sendiri. Saat penderitaan berkurang, kebahagiaan akan
muncul,” ajak Bhante.
“Memuja memang baik, tapi yang tertinggi adalah praktek Dhamma. Memuja Buddha dengan praktek Dhamma yang benar. Memuja Buddha dengan praktek Dhamma yang benar, memuja Dhamma dengan praktek Dhamma yang benar, memuja Sangha dengan praktek Dhamma yang benar. Dengan jalan itulah kita mendapat manfaat untuk bebas dari penderitaan. Marilah menghormat Tiratana dengan praktek Dhamma yang benar,” tutup Bhante Pannyavaro
Serial artikel "In Memoriam Sutar Soemitro The Founder of BuddhaZine"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar